MEDAN - Pelaku usaha kecil menengah (UKM) harus bersiap melengkapi persyaratan halal produknya sendiri dan bersiap untuk berdaya saing. Pasalnya, Indonesia saat ini menjadi pasar potensial untuk industri halal yang banyak dilirik negara lain.

Hal ini terungkap dalam public hearing bertajuk ‘Pengembangan skema dan penilaian kesesuaian’ yang digelar Badan Standarisasi Nasional (BSN) bekerjasama dengan Forda UKM Sumut, Senin (11/3/2019) kemarin.

Dalam kegiatan yang diikuti seratusan pelaku UKM ini, dihadiri berbagai narasumber seperti anggota DPR RI, Nasril Bahar, M Faisal B.IRKH selaku pengamat industri halal, dan Deputi Bidang Informasi dan Pemasyarakatan Standardisasi – Badan Standarisasi Nasional, Zakiyah.

Pengamat industri halal Sumut, M Faisal B.IRKH mengatakan, saat ini industri halal sudah menjadi trend dan gaya hidup. Maka dari itu, pelaku usaha sudah seharusnya melengkapi perizinan halal produknya di tengah derasnya arus globalisasi.

Kondisi ini, lanjut dia, semakin memperketat persaingan produk yang dihasilkan RI maupun negara lain seperti Vietnam, Cina, Thailand yang saat ini tidak memiliki perbedaan tarif.

Namun sayangnya di Sumut ketertarikan para pelaku usaha untuk sertifikasi halal ini masih rendah.

"Interest para pelaku usaha itu belum banyak, terlebih Sumut saat ini belum ada perda halal dan higenis," paparnya.

Untuk itu, dirinya berharap perlunya dilakukan sosialisasi bagi pelaku usaha agar sertifikasi halal ini menjadi prioritas. Dirinya juga mendorong UKM agar lebih peduli dengan sertifikasi halal.

"Perlu adanya sosialisasi bagaimana mendapatkan sertifikasi halal ini. Dan untuk BSN, UKM juga belum banyak yang tahu," ujarnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Informasi dan Pemasyarakatan Standardisasi – Badan Standarisasi Nasional, Dr Zakiyah menjelaskan, negara lain saat ini sangat bergairah untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial. Bahkan mereka selalu mengikuti perkembangan aturan untuk produk JPH ini.

Karenanya dalam forum internasional yang digelar baru-baru ini, sejumlah negara seperti Amerika, Canada, Brazil, Jepang mendesak Indonesia untuk menotifikasi aturan-aturan termasuk PP untuk implementasi aturan UU yang saat ini.

“Mereka mengejar sekali. Karena apa, karena tadi, mereka akan siap-siap di negaranya, apa yang harus dilakukan. Sementara kita, di Indonesia masih berkutat pada mekanisme,” ujarnya.

Padahal seharusnya, saat ini sudah harus menyiapkan dunia usaha terutama UKM, sehingga mereka melengkapi persyaratan halal. Apalagi bagi pelaku UKM yang ingin ekspansi ke luar negeri.

"Pemda juga harus bersiap dengan adanya PP tersebut. Apa yang harus disiapkan sebagai pemerintah membantu dunia usaha, selain itu pelaku usaha juga harus memantau perkembangan yang ada," pintanya.

Di tempat yang sama, Sekretaris MUI Sumut, Ardiansyah menyebutkan, dalam pengurusan sertifikat halal, sebenarnya tidak sesulit yang dibayangkan pelaku usaha. Bahkan sejak tahun 2016, pengurusan sertifikasi halal ini sudah dilakukan secara online.

"Halal bukan untuk mengislamkan Indonesia atau mensyariatisasikan Indonesia. Tapi ini gaya hidup dunia saat ini. Bahkan di Eropa meereka sangat peduli dengan wisatawan, karena tahu halal. Berbeda dengan tempat wisata kita yang menjadi tempat pembuangan sampah, karena orang Medan bawa bontot ke Berastagi," bilangnya.

Ardiansyah mengaku, etnis Tionghoa lebih peduli dalam pengurusan sertifikasi halal ini dibandingkan etnis lainnya. Apalagi jika pengusahanya seorang muslim.

"Jadi identitas agama dinilai sudah menentukan sebuah makanan itu halal. Padahal tidak demikian," pungkasnya.

Sementara itu, Sekretaris Forda UKM Sumut, Chairil Huda mengatakan saat ini banyak pelaku usaha yang mendapatkan surat klarifikasi terutama untuk produk makanan dan minuman.

Ke depan, dirinya berharap, agar dibedakan bagaimana mendapatkan izin usaha, halal dan penegakan hukum, karena semua pelaku usaha memiliki keinginan tertib administrasi dan legalitas.