MEDAN-Presiden Joko Widodo dinilai tidak perlu menanggapi desakan yang datang dari sejumlah pihak asing untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik energi bersih PLTA Batangtoru. Proyek tersebut dinilai sudah menerapkan mitigasi untuk mencegah kerusakan hutan dan menjaga kelestarian orangutan.

“Ini kedaulatan negara. Rencana pembangunan negara ini tidak boleh diatur oleh pihak lain,” kata Guru Besar Fakultas Kehutanan Profesor Yanto Santosa dalam pernyataan yang diterima Minggu, (10/3/2019).

Jika ada pihak asing yang keberatan dengan pembangunan pembangkit listrik yang menjadi bagian dari strategi pengendalian perubahan iklim Indonesia itu, Yanto mengajak untuk duduk bersama mencari solusi agar dampak yang dikhawatirkan tidak terjadi.

“Mari kita diskusi. Bukan untuk menolak, tapi mencari solusi agar apa yang mereka khawatirkan  tidak terjadi,” katanya.

Yanto mengingatkan, PLTA Batangtoru adalah proyek strategis nasional demi memenuhi hajat hidup orang banyak. Proyek tersebut juga memiliki izin lingkungan yang secara hukum sudah terbukti benar.

Dia memahami ada perhatian soal keberadaan orangutan di ekosistem Batangtoru. Namun Yanto menekankan untuk tidak ada kekhawatiran yang berlebihan. Menurut dia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah memberi jaminan akan perlindungan orangutan di wilayah tersebut.

Yanto menyayangkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing menggelembungkan data soal jumlah orangutan yang terdampak pembangunan PLTA Batangtoru. Kalangan LSM tersebut, ujar Yanto, menghitung jumlah orangutan terdampak dengan mengkalkulasi seluruh ekosistem Batangtoru. Padahal berdasarkan kajian yang dilakukan tim IPB, di wilayah lokasi proyek pembangunan PLTA Batangtoru hanya ada dua hingga tiga individu orangutan.

“Data kerapatan individu orangutan yang kami gunakan sama, tapi LSM-LSM asing itu menghitung jumlah orangutan di seluruh wilayah Batangtoru. Jadi jumlahnya banyak. Sementara lahan yang digunakan proyek pembangunan sedikit, diperkirakan hanya ada 2-3 individu,” kata Yanto.

Yanto menegaskan, agar jangan ada lagi upaya menghambat pembangunan PLTA Batangtoru. Pasalnya, pembangkit listrik energi bersih itu dibangun demi memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sekaligus menjadi bagian dari kontribusi Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim global.

“Jika pembangunan PLTA Batangtoru terhambat, harapan kita agar menghemat pengeluaran negara dan mengurangi emisi gas rumah kaca akan terkendala,” katanya.

Dia menjelaskan, masyarakat di Sumatera Utara sangat membutuhkan pasokan listrik yang handal. Saat ini, sebagian kebutuhan listrik itu dipenuhi dari kapal pembangkit listrik berbahan bakar fosil (solar) yang disewa dari luar negeri. Selain sewa dan pengadaan solar yang mahal, pemanfaatan bahan bakar fosil juga mengakibatkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang tinggi. Emisi GRK yang tinggi bisa berdampak pada bencana perubahan iklim.

Sebelumnya, sejumlah pihak asing mendesak Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pembangunan PLTA Batangtoru. Desakan disampaikan lewat surat yang dilayangkan, Selasa (5/3). Mereka beralasan PLTA Batangtoru mengakibatkan punahnya Orangutan tapanuli dan merusak kehidupan masyarakat.

Mereka yang meneken surat tersebut di antaranya Mantan Duta Besar Amerika Serikat (Dubes AS) untuk Indonesia Robert Blake Jr. mantan Dubes AS untuk Indonesia, Cameron Hume, sejumlah mantan anggota kongres AS, termasuk Henry Waxman yang merupakan Chairman LSM Mighty Earth.

PLTA Batangtoru dirancang memiliki kapasitas 510 MW. Meski memiliki kapasitas besar, namun tak ada bendungan besar yang dibangun. Melainkan hanya kolam harian yang luasnya sekitar 90-an hektare. Bandingkan dengan kebutuhan lahan di PLTA Jatiluhur yang menghasilkan tenaga listrik 150 MW namun membutuhkan bendungan seluas 8.000 hektare.

PLTA Batangtoru menjadi bagian dari implementasi strategi Indonesia untuk mengurangi emisi GRK penyebab bencana perubahan iklim. Proyek tersebut dirancang bisa mengurangi emisi GRK hingga 1,6-2,2 juta ton setara CO2 per tahun dan bisa menghemat hingga Rp5 triliun per tahun jika dibandingkan penggunaan pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil. Indonesia sudah berkomitmen untuk memangkas emisi GRK sebanyak 29 persen pada tahun 2030 dengan upaya sendiri.*