MEDAN-Permasalahan perempuan dalam politik bukan merupakan  sesuatu yang baru di Indonesia, munculnya gerakan kebangsaan  dalam bentuk kongres perempuan pada tahun 1928 ( dikenal sebagai peringatan  hari ibu) merupakan langkah berarti bagi kaum perempuan Indonesia untuk dapat berbuat  bagi kepentingan bangsa dan negara.

Hal ini dikatakan Prof Darmayanti Lubis, Anggota DPD RI daerah Pemilihan Sumatera utara dan juga sebagai Wakil Ketua DPD RI pada ratusan Muslimah Mathla’ul Anwar Sumut di Medan, baru-baru ini.

Prof Darmayanti menuturkan seorang muslimah   perlu menyadari bahwa tidak ditemukan adanya  ayat Al-Quran maupun hadis yang melarang kaum perempuan  berperan dalam dunia politik, malah sebaliknya Al-Quran dan hadis banyak mengisyaratkan  agar laki-laki maupun perempuan untuk bersama-sama saling membantu dan menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.

“Tuntutan akan peningkatan  keterwakilan perempuan dalam  jumlah memadai diperlukan karena  berbagai alasan seperti demokrasi perempuan adalah mayoritas lebih dari separuh populasi, adalah wajar bila  wakil-wakil rakyat dapat merefleksikan konstituennya. Tidak bisa dibantah bahwa perkembangan intelektual/kemampuan perempuan sudah semakin memadai. Terlihat bahwa dengan  rendahnya keterlibatan perempuan dalam pengambil keputusan, maka cukup banyak permasalahan kemanusiaan di masyarakat yang dirasakan, terutama lebih berdampak pada perempuan dan anak-anak, seperti kemiskinan, kekerasan,  kesehatan, pendidikan dan lainnya,” terangnya.

Lanjutnya, visi pembangunan Indonesia kedepan, eksistensi perempuan sebagai pengambil  keputusan dalam politik akan berkontribusi pada nuansa baru dunia politik yang diharapkan membawa  perubahan. Sehingga berbagai tindakan aksi diperlukan untuk meningkatkan representasi dan partisipasi perempuan dalam politik.

“Didalam proses demokratisasi sekarang ini, pemberdayaan perempuan sebagai sumber-daya manusia dengan nilai-nilai kesetaraan dan kebebasan adalah persyaratan untuk meningkatkan partisipasi dan representasi perempuan dalam pengambilan keputusan, Tak hanya itu perlu pelatihan dan Pendidikan masyarakat, pendidikan kewarganegaraan dan hak-hak manusia, termasuk sosialisasi tentang nilai-nilai Pancasila serta 4 pilar dan politik perempuan untuk semua perempuan hingga ke tingkat paling bawah,” paparnya lagi.

Untuk itu, tambahnya perlu secara  terus menerus untuk mengubah dan mengurangi kebudayaan patriarki dalam semua aspek kehidupan dengan mengembangkan sosialisasi dari pemahaman yang tepat terhadap istilah “kesetaraan”. Bahkan Organisasi sosial dan LSM untuk perempuan dan demokrasi harus direvitalisasi/diberdayakan dan membentuk jaringan kerjasama dan kemampuan untuk menjadi kelompok penekan (pressure group) untuk menjaga agenda politik perempuan.

“Perlu  mengawal  caleg-caleg perempuan dalam pemilu serta mengembangkan paham  “Vote for Women”, dimana setiap perempuan memilih perempuan menjadi  wakilnya. Perempuan yang berada pada posisi-posisi pembuat kebijakan dan keputusan – legislatif, eksekutif atau yudikatif perlu berkoordinasi dengan pemerhati perempuan, LSM dan organisasi sosial. Dan, peningkatan  peran politik perempuan bukanlah berarti menjadi aktivis politik semata, namun mengembangkan kepedulian terhadap isu/permasalahan yang dihadapi kaum perempuan,” tutupnya.*