JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Bangka Belitung, Tellie Gozalie menilai, polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 dilatarbelakangi oleh ketidakpahaman dan politik kepentingan sejumlah oknum internal MK.

Putusan itu bertentangan dengan putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008 yang memperbolehkan anggota partai mengikuti pemilihan anggota DPD.

"Putusan MK soal larangan pengurus partai politik menjadi anggota DPD sekaligus memerintahkan KPU untuk menjadikan putusan itu sebagai 'norma baru' dalam PKPU merupakan bukti nyata pelampauan kewenagan. Ini bukan sekadar menghilangkan hak konstitusi warga negara. MK menambrak putusan yang mereka buat sebelumnya," ujar Tellie dalam keterangan tertulisnya, Jumat (28/9/2018) malam.

Menurutnya, putusan yang dilatari oleh penafsiran frasa 'pekerjaan lain' dalam Pasal 182 Huruf I Undang-Undang Pemilu pun 'cacat logika'. Pasalnya, dari penafsiran atas 'pekerjaan lain' inilah, MK melahirkan aturan yang melarang anggota DPD menjadi pengurus partai politik.

"Pemaknaan ini tidak dapat diterima akal sehat. Kita semua tahu, pengurus partai politik bukanlah pekerjaan sebagaimana lazimnya pekerjaan untuk memperoleh penghasilan. Ironisnya, fakta bahwa pekerjaan adalah upaya untuk memperoleh penghasilan diabaikan majelis. Mereka pun menabrak aturan soal kebebasan berserikat dan berkumpul yang diatur oleh UUD 1945," sesal dia.

Dalam pendapat hukum Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008, lanjut dia, MK berpandangan bahwa DPD bukanlah vis a vis dengan DPR atau dua lembaga perwakilan yang berhadap-hadapan, seperti Kongres dan House of Representative di AS. Karenanya, kekhawatitan akan ada double representative sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak sama sekali tidak beralasan.

"Seseorang menjadi pengurus atau anggota partai politik tidak akan serta merta menghilangkan konsentrasi, kepedulian, fokus, serta kemampuannya untuk memperjuangan kepentingan daerahnya. Karenanya, putusan MK terkait penafsiran atas 'pekerjaan lain' patut diduga membawa kepentingan kelompok tertentu," tegas dia.

Tellie juga menyesalkan kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadikan putusan MK sebagai dasar pembentukan norma baru dalam Peraturan KPU (PKPU) terkait pencalonan Anggota DPD. Selain tak dapat menjadikan putusan tersebut sebagai norma baru, KPU juga telah membuat aturan tanpa memperhatikan hal-hal yang bersifat pengecualian.

Sebagaimana diketahui, lanjut dia, terdapat calon anggota DPD yang juga berstatus sebagai ketua partai politik, yakni Oesman Sapta. Aturan yang terbit di tengah berlangsungnya proses pencalonan itu, memaksa Oesman Sapta kehilangan hak politiknya untuk ikut dalam pencalonan DPD.

"Status ketua umum partai tidak dapat dihilangkan begitu saja, tidak bisa sekadar lewat surat pengunduran diri. Ada mekanisme yang harus dilalui, dan dinamika di internal partai," jelas anggota Komite II DPD ini. ***