MEDAN - Meski Indonesia sudah merdeka selama 73 tahun dan di era globalisasi seperti saat ini, kasus stunting di Indonesia masih saja ditemukan. Apalagi, di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang jumlah kasusnya terbilang masih tinggi. "Saya kaget di Langkat, pada tahun 2013, kasus stunting angkanya sangat tinggi, yakni 55,48 persen. Artinya dari 2 anak, satu di antaranya mengalami stunting. Stunting nggak enaknya bukan hanya fisiknya yang pendek. Masalah ini nggak apa-apa, dalam dunia entertainment masih dicari. Tetapi yang dikhawatirkan otaknya juga ikut pendek. Bayangkan, sebanyak itu, kepandaiannya tidak meningkat," sebut Menteri Kesehatan (Menkes) RI Nila Moeloek didampingi Kepala Dinas Kesehatan Sumut, Agustama usai Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) Provinsi Sumatera Utara (Sumut), dengan tema Sinergisme provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Sumut dalam mewujudkan Universal Health Coverage, Rabu (11/7/2018), di Emerald Garden Hotel.

Nila melanjutkan, pemerintah saat ini sedang difokuskan ke arah pembangunan infrastruktur. Sehingga, pihaknya mengambil program stunting sebagai bahan dasar. Kesehatan adalah hal yang terpenting dan menjadi nomor satu yang menjadi fokus utama. Kemudian barulah pendidikan.

"Tidak mungkin kesehatannya buruk, mengalami fisik dan kognitifnya stunting, akan menjadi orang yang berpendidikan. SDM berkualitas didukung kesehatan yang baik. Sebenarnya, sesuai nawacita Presiden RI, kita telah mendorong sejak dahulu agar masyarakat menjadi manusia yanh pandai. Memang geografis setiap daerah tidak sama. Tidak semua wilayah mendapatkan akses yang mudah. Tetapi kita akan tetap berupaya penanganan ini dalam program gerakan masyarakat (Germas)," ujarnya.

Dikatakannya, pada tahun 2018, secara nasional, usaha pemerintah dalam penurunan tingkat stunting, mencapai 28%.

Selanjutnya, tambah Nila, terkait Tuberculosis (TBC). Tuberculosis Multi Drug Resistent (TB-MDR) semakin naik. Ada penelitian di litbangkes, TBC bukan berasal dari MDR, namun bisa juga manusia sehat terkena TBC.

"Saya terkejut mendengar ada satu orang yang bekerja di Jepang, tidak diperbolehkan masuk karena mengalami TBC. Mau nggak kita selalu diusir di luar negeri karena TBC. Kalau bisa kita yang mengatakan begitu ke orang asing tersebut agar jangan masuk negara kita karena TBC. Karena itu kita ingin negara kita bebas TBC," bebernya.

Ia meminta agar para ahli kesehatan tidak menyebut istilah TBC dengan TB. Hal ini tidak difahami masyarakat. "Sudahlah TBC aja. Tidak usah TB. Ini asing bagi masyarakat," tegasnya.

Nila juga berharap, agar kasus-kasus seperti ini bukan hanya difokuskan ke Puskesmas semata, tetapi juga temuan-temuan berasal dari rumah sakit dan mandiri.

Disarankannya, agar para ibu dapat memperhatikan anak-anaknya. Berawal dari dalam kandungan hingga lahir, agar tercukupi asupan gizinya. Pihaknya meminta agar para ibu dapat secara rutin membawa bayinya untuk diimunisasi.

Program ini, katanya, akan dilaksanakan pada Agustus hingga September 2018. Imunisasi yang diberikan adalah jenis measles rubella (MR). Measles adalah campak. Sedangkan rubella adalah penyakit ke arah pengkapuran pada otak, jantung, mata dan telinga pada anak. Ini menyebabkan cacat yang parah.

"Target di luar pulau Jawa, harus diselesaikan tahun ini. Sementara di pulau Jawa sudah mencapai target hampir 100%. Memang minimal target kita sebesar 95%. Maksudnya, 90% terimunisasi maka dapat mencapai kesehatan yang baik. Jika masih 70%, maka orang sehat dapat tertular penyakit-penyakit yang berbahaya," tukasnya. *