JAKARTA - Penyusunan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pasien harus disegerakan mengingat peraturan yang ada saat ini masih parsial.

Wakil Ketua Komite III DPD RI, Abdul Azis menyampaikan dalam Uji Sahih RUU Perlindungan Pasien di Universitas Borneo Tarakan, Kalimantan Utara bahwa peraturan yang ada belum komprehensif mengatur perlindungan pasien.

Peraturan berkaitan dengan perlindungan pasien masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain yaitu UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit dan UU Perlindungan Konsumen.

Komite III DPD RI menyelenggarakan Uji Sahih di Universitas Borneo Tarakan, Kalimantan Utara untuk menghimpun aspirasi masyarakat daerah khususnya perbatasan.

Pemangku kepentingan yang hadir dalam Uji Sahih RUU Perlindungan Pasien ini antara lain: Wakil Rektor 1 bidang Akademik dan Sistem Informasi Universitas Borneo Tarakan Dr. Ir. Adi Sutrisno, MP, Dekan Fakultas Hukum UBT Yahya Ahmad Zein, SH, MH, Kepala Instalasi Kedokteran Forensik RSUD Tarakan, Akademisi Universitas Borneo Tarakan, Kepala Puskesmas Tarakan, POLRES Tarakan, dan rombongan Komite III DPD RI.

Senator Abdul Azis menjelaskan kondisi kesehatan di negara ini masih menghadapi berbagai tantangan dari berbagai aspek. Terdapat keluhan masyarakat miskin untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai di daerah. Begitu pula kasus penggunaan vaksin palsu yang dilakukan oleh 14 rumah sakit telah melanggar UU Nomer 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit serta penolakan pasien oleh layanan kesehatan.

"Hubungan terapeutik pasien dengan tenaga medis seringkali tidak seimbang. Posisi pasien cenderung lemah. Kendala yang dihadapi pasien seperti pengetahuan yang minim, bantuan hukum, penyelesaian sengketa, kompensasi dan penyelesaian penegakan hukum," tandas Wakil Ketua Komite III ini.

Dalam paparannya Prof. Achir Yani S Hamid, MN DN SC selaku tim ahli penyusunan RUU Perlindungan Pasien menjelaskan Hubungan terapeutik memposisikan pasien sangat lemah. Pasien tidak mampu memahami kebutuhannya dalam hal penanganan medis. Bahkan faktor ekonomi masih terkendala keterbatasan kemampuan untuk menyetujui tindakan medis pada dirinya.

"Situasi ini diperparah peraturan selama ini belum menghasilkan perlindungan pasien yang komprehensif dan efektif. Selayaknya pelayanan kesehatan dijiwai oleh prinsip kemanusiaan, keadilan dan altruisme tenaga kesehatan," tegas Achir Yani.

Kepala Instalasi Kedokteran Forensik RSUD Tarakan, Dr Anwar Djunaidi, Sp. F menjelaskan penyelenggaraan rumah sakit memiliki tugas memberikan pelayanan kesehatan, perlindungan dan keselamatan pasien. Selama ini Rumah sakit terus disorot oleh masyarakat karena seringkali terjadi sengketa medik. Malpraktik muncul disebabkan adanya gangguan dalam komunikasi tenaga kesehatan dengan pasien atau keluarga.

Keluhan yang muncul sejak dini seharusnya direspon oleh tenaga medis. Kasus kesehatan yang marak memerlukan pengelolaan dalam bentuk koordinasi yang seimbang antara dokter, tenaga medis lain, pasien, keluarga, komunitas dan pemangku kepentingan lainnya.

Sebagai tambahan Dekan Fakultas Hukum UBT, Yahya Ahmad Zein, SH, MH mengungkapkan bahwa penyusunan regulasi harus mempertimbangkan tarik menarik kepentingan politik dan hukum. Peranan Dewan Perwakilan Daerah RI sangat siginifikan dalam hal ini sebagai representatif yang mengusung keinginan masyarakat di daerah. Regulasi ini disusun untuk mencapai kepentingaan bersama.

Kunjungan Kerja kali ini diikuti oleh 7 Senator Komite III DPD RI antara lain; H Abdul Azis, SH ( Sumatera Selatan ), KH Muslihuddin Abdurrasyid, Lc, M.Pdi ( Kalimantan Utara ), H. Rafli (Aceh ), Dr. Dedi Iskandar Batubara, S.Sos, SH, MS ( Sumatera Utara), Bahar Buasan, ST, M.SM ( Bangka Belitung), Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS ( Bali), dan H. Habib Hamid Abdullah, SH, MH ( Kalimantan Selatan).***