MEDAN - Ada upaya sistematis mengebiri ajaran Islam hanya karena kepentingan politik Pemilihan Gubernur Sumut (Pilgubsu). Hal itu terindikasi ketika imbauan shalat subuh berjamaah dan berbagai baliho publikasi ajaran Islam selalu ditertibkan. Padahal itu adalah syiar Islam yang wajib hukumnya. Hal itu dikatakan Ketua Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid (BKPRMI) Sumut Zulchairi Pahlawan, SH, Minggu (24/6/2018).

Menurut Zulchairi, banyak baliho BKPRMI yang berkonten syariat Islam diturunkan pihak kepolisian dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Padahal konten baliho BKPRMI itu adalah bahagian dari syiar Islam, karena mengajak umat Islam untuk mengetahui apa yang dilarang agama dan apa yang diwajibkan agama.

Zulchairi juga sangat menyayangkan sikap Panwas yang menurunkan baliho BKPRMI, karena tanpa koordinasi terlebih dahulu. Katanya, jika BKPRMI itu salah, harusnya Panwas menyurati dan memberi penjelasan.

"Inikan tidak, main bongkar saja tanpa adanya pemberitahuan," tandasnya.

Menurutnya, ada pihak pihak yang sengaja menularkan virus Islamphobia di Sumut, padahal sebelumnya tidak ada yang mengusik gerakan Subuh Berjamaah dan publikasi terkait ajaran Islam.

"Entah kenapa kekuatan umat Islam ini kok mau dilunturkan menjelang Pilgubsu 27 Juni ini. Dulu jauh sebelum Pilgubsu, tidak ada yang mengusik, sekarang kenapa ada yang mengusik gerakan umat? Apakah persatuan umat ini tidak boleh ada karena Pilgubsu, atau memang ada kelompok yang tidak suka dengan agenda politik umat Islam di Pilgubsu ini?," tanua Zulchairi.

Zulchairi berharap agar polisi dan Panwas tidak seenaknya saja menurunkan baliho BKPRMI, sebab baliho itu dibuat dengan menggunakan dana umat.

Jika syiar Islam menjadi barang haram di Pilgubsu ini, maka terlalu zhalim mereka yang menggerakkan berbagai kekuatan untuk mengebiri Islam demi kepentingan politik.

Di tempat terpisah, Sekretaris Umum Majelis Ulama (MUI) Sumut, DR. H. Ardiansyah, MA menyebutkan seharusnya KPU dan Bawaslu cukup menjalankan tugasnya sesuai dengan fungsinya saja, tidak perlu melakukan praduga-praduga apalagi yang ada kaitannya dengan agama.

“Biarkanlah logika masyarakat itu berjalan apa adanya bahwa dia menjalankan agamanya dan itu dijamin oleh UUD dan Pancasila,” paparnya.

Ardiansyah menyampaikan, sungguh salah kaprah apabila ajakan untuk shalat berjamaah melalui spanduk dianggap sebagai politisasi. Menurutnya shalat yang merupakan kewajiban umat muslim, jadi tak ada yang bisa melarang.

"Kalau subuh berjamaah dianggap politisasi ini sebenarnya sungguh jauh dari itu, karena memang umat muslim diperintahkan untuk shalat, sejak mulai kumandang azan seorang muslim wajib mendirikan shalat, sungguh salah kaprah sekali kalau ini dianggap bagian dari politisasi agama,” imbuhnya.

MUI sangat menyesalkan dan menyayangkan tindakan dari pihak-pihak yang menganggap seruan untuk umat muslim merupakan bagian dari kampanye. Ardiansyah menegaskan, pembicaraan soal memilih pemimpin merupakan bagian dari syariat Islam yang telah jauh dibahas sebelum masa kampanye tiba.

“Majelis Ulama sangat menyesalkan dan menyayangkan tindakan dari pihak-pihak yang kemudian menganggap ini merupakan bahagian dari kampanye, karena perlu diingat bahwa umat Islam sudah membicarakan tentang kepemimpinan bukan hanya hari ini saja, kita sudah membicarakan ini jauh sebelumnya,” tegasnya.*