MEDAN - Revolusi sosial di Sumatera Timur perlu ditelusuri lebih jauh. Pasalnya, selama ini data-data tentang itu masih sekadar bersifat informatif.

Belum kuat untuk bisa didudukkan sebagai dokumentasi sejarah. Karenanya, perlu ada rekonsiliasi bila perlu mencari data-datanya sampai ke Belanda

Hal itu merupakan salah satu kesimpulan dari Seminar Nasional bertajuk "Kontroversi Pahlawan Nasional Amir Hamzah" yang digelar Mahasiswa Pendidikan Sejarah Unimed, di VIP Room Serbaguna, Kampus Unimed.

Sejarawan Unimed, Ichwan Azhari, salah seorang pembicara di seminar itu menyebut, revolusi sosial yang terjadi di Sumatera Timur, khususnya yang terjadi di Langkat, perlu diteliti lebih jauh. Sampai kini revolusi itu belum jelas benar seperti apa dan data-data tentangnya sangat minim.

"Revolusi sosial itu sebuah istilah yang harus diluruskan dulu. Soalnya istilah itu bisa jadi dipakai untuk melegitimasi kepentingan tertentu," kata Ichwan.

Ichwan tak menjelaskan lebih jauh kepentingan tertentu yang ia maksud.

Ketika ditanya, Ichwan menjelaskan, yang pasti kematian Amir Hamzah yang disebut-sebut sebagai korban revolusi sosial itu, mengandung banyak pertanyaan yang perlu diungkap. Ia tewas dipancung karena dituding pro Belanda oleh kelompok masyarakat yang katanya kaum sosialis. "Ini sangat spekulatif," ujarnya.

Praktisi hukum Abdul Hakim Siagian yang juga pemateri, senada dengan Ichwan. Menurutnya, perlu ada rekonsiliasi mulai dari mencari kata yang paling tepat untuk istilah itu sampai mengungkap siapa-siapa yang menjadi korban. Termasuk memulihkan nama baik siapa-siapa yang tercoreng namanya dari peristiwa itu.

"Sayangnya tentang itu memang tidak banyak datanya. Negeri ini lebih fokus pada revolusi 1965," ujarnya. Dari sisi hukum yang lebih kompeten untuk itu adalah sejarawan. Kami hanya bisa pada aspek hukumnya saja," jelasnya.