MEDAN - Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa ibu di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi etika dalam berkomunikasi. Tidak hanya secara verbal, juga pakem dan cara penyampaiannya.

Namun di tanah perantauan, khususnya Medan, karena tuntutan dan adaptasi, bahasa Jawa itu sering mengalami degradasi, yang pada akhirnya berdampak pada perubahan makna. Akibatnya juga sering berpengaruh pada konteks etika.

Misalnya di Jawa ketika seseorang berbicara kepada orang yang usianya lebih tua atau yang lebih tinggi secara hirarkis, wajah orang tersebut tunduk dan dengan nada bicara yang halus. Tapi di Medan, orang Jawa malah sering ada yang lebih "galak" dibandingkan dengan orang Medan.

Hal itu dijelaskan pimpinan Komunitas Jede, Yono USU. Pegiat budaya Jawa sekaligus peneliti Jawa Deli ini mengaku telah melakukan penelitian akan hal itu.

Ia pun berkesimpulan bahwa bahasa Jawa di Medan khususnya di Tanah Deli, telah mengalami beberapa kali proses nilai.

Karenanya, Bahasa Jawa di Medan sulit untuk didudukkan dalam konteks etika. Hal itu dikarenakan di Medan standar norma bahasa Jawa telah mengalami beberapa tahap pergeseran nilai.

"Dari kromo Inggil (bahasa halus) menjadi sekedar kromo (bahasa Jawa umum) kemudian diturunkan lagi menjadi ngoko (bahasa Jawa "pasaran") dan kemudian diturunkan lagi dengan bahasa Jawa yang telah bercampur aduk dengan bahasa lain yang ada di Medan untuk kemudian menghasilkan bahasa Jawa yang unik. Istilah saya Bahasa Jawa Deli. Itu memang sifat bahasa, adaptif dan fleksibel. Tergantung di mana kita berada dan peruntukannya," ucapnya.