MEDAN - Penemuan Viostin DS dan Enzyplex mengandung DNA Babi yang telah beredar sejak November 2017 dan bahkan diiklankan bebas di media elektoronik bukti Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) tidak melakukan pengawasan produk obat-obatan yang beredar di pasaran.

Produsen produk tersebut pun harus bertanggungjawab terhadap konsumen yang mengkonsumsinya.

Viostin DS dan Enzyplex yang mengandung DNA Babi harusnya menjadi tamparan telak bagi pejabat di BBPOM dan Kemenkes.

Sekretaris Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), Padian Adi S. Siregar mengungkapkan sudah seharusnya pemerintah melakukan kriminalisasi terhadap pelaku usaha makanan dan obat-obatan yang nakal.

“Produk yang mengandung DNA Babi atau mengandung zat berbahaya harus diberikan sanksi pidana selain selama ini diberikan sanksi pencabutan izin. Pemerintah dinilai tidak tegas dalam memberikan sanksi yang hanya melakukan penarikan barang tetapi tidak pernah mempertimbangkan konsumen jadi korban,” ungkapnya.

Pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap konsumen yang dirugikan tidak pernah dilakukan sehingga sangat tidak berkeadilan karena konsumen tidak mendapatkan kompensasi atas kerugian yang dialami.

Menurut Padian Adi S. Siregar, langkah pemerintah yang hadir ketika ada masalah sungguh melanggar logika perlindungan negara terhadap rakyat. Bagaimana negara membiarkan rakyatnya menjadi korban “praktek curang” pelaku usaha obat dan makanan.

“Pemerintah kecolongan melakukan pengawasan bahkan mengeluarkan izin Viostin DS dan Enzyplek atau produk lainnya, karena pemerintah selama ini bekerja berbasis anggaran dan di beberapa kesempatan kritik yang diajukan publik lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah karena keterbatasan jumlah SDM dan anggaran,” ungkapnya.

BBPOM dan Kemenkes selama ini bertindak hanya “sekedar tukang tandatangan” dalam menerbitkan izin produk obat-obatan tanpa melakukan kajian dan mengevaluasi produk yang diterbitkan izinnya.

Selain itu, Padian Adi S. Siregar menambahkan pelaku usaha harus diberikan sanksi memberikan kompensasi kepada konsumen sebagai bentuk pertanggungjawaban lantaran merugikan masyarakat sebagai konsumen yaitu mengembalikan sejumlah uang kepada konsumen yang telah mengonsumsi sesuai nilai pembeliannya.

Sanksi ini harus dibarengi dengan pemeriksaan terhadap semua produk pelaku usaha yang beredar di pasaran. Apabila ditemukan banyak pelanggaran maka izinnya harus dicabut bahkan pemilik perusahaan harus dipidana menurut pertanggungjawaban pidan korporasi.

Tetapi, secepatnya kedua perusahaan tersebut harus melakukan permintaan maaf terbuka kepada masyarakat sebagai konsumen. Sebab, hal tersebut merupakan bentuk keteledoran yang sangat merugikan konsumen.

Selain itu, Padian Adi S. Siregar menambahkan pemerintah harus melakukan evaluasi secara periodik terhadap produk yang telah diterbitkan izinnya sehingga dapat menutup celah pelaku usaha melakukan pelanggaran. Bisa jadi dalam permohonan izin, pelaku usaha mematuhi uji kelayakan sebuah produk tetapi setelah diproduksi dilakukan penyimpangan seperti yang terjadi pada Viostin DS dan Enzyplex.

BBPOM dan Kemenkes harus turun langsung menguji sampel produk bukan malah menunggu pelaku usaha yang penuh kesadaran diri menguji produknya.

“Tentu pendekatan pemidanaan menjadi solusi terbaik terhadap pelaku usaha yang memasukkan zat yang dilarang dimasukkan dalam makanan dan obat-obatan. Dalam hal ini, DNA Babi dalam Viostin DS dan Enzyplex juga harus dipidana bukan karena berbahaya, tetapi adanya unsur penipuan informasi yang dilakukan pelaku usaha sehingga tubuh konsumen terkontaminasi dengan zat yang tidak seharusnya masuk dalam tubuhnya,” pungkasnya.