JAKARTA - Piutang negara saat ini yang dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) memang cukup besar, namun sayangnya hingga kini negara masih mengalami kesulitan dalam melakukan penagihan.

Melihat itu, Komite IV DPD RI menilai perlu untuk membahas Rancangan Undang Undang Pengurusan Piutang Negara dan Daerah (RUU PPND).

Diawal pembahasan, Ketua Komite IV DPD RI, Ajiep Padindang menilai pembahasan RUU ini penting dalam memberikan aturan spesifik tentang penagihan piutang negara dan daerah sehingga tidak merugikan keuangan negara.

“Pengaturan piutang negara harus spesifik agar tidak merugikan negara, mengingat piutang negara juga merupakan aset negara,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum bersama lima narasumber, yaitu Drs. Pardiman, M.Si, Drs. Siswo Sujanto, DEA, Dr. Mukhlis Sufri, Dr. Maret Priyanta dan Suryanto di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (17/1).

Menurut Senator Nanggroe Aceh Darussalam, Ghazali Abas RUU PPND harus memiliki rumusan pelanggaran yang jelas dan sanksi yang tegas. “Agar tidak terjadi piutang negara yang macet, maka harus jelas rumusan pelanggarannya seperti apa dan sanksi yang tegas,” terangnya.

Sementara itu Senator Kepulauan Riau, Hardi Selamat Hood menyoroti soal pelaksanaan pengurusan piutang yang juga harus dijalankan dengan baik. “Apakah keadaan piutang negara itu harus ada RUU nya atau kah proses eksekusinya yang bermasalah. Karena saat kita bicara pengurusan piutang maka selalu saja bicara tehnis, jadi apakah ini kita ketengahkan jadi UU atau hanya merangkum dari aturan yang ada dan diperkuat, atau bagimana pihak yang berhutang itu membayar,” ujarnya.

Senada dengan Ghazali, Senator Jawa Timur Budiono, menyoroti tentang konsep dari RUU Piutang Negara dan Daerah. “Kita ambil contoh di Papua itu daerah juga punya piutang kepada Freeport terhadap air permukaan, nah apakah daerah juga diatur dalam undang-undang ini. Dan apakah undang-undang ini kelak juga dapat melacak piutang di luar negeri juga?,” paparnya.

Dikesempatan yang sama, salah satu narasumber, Siswo Sujanto menambahkan banyaknya piutang yang belum tertagih atau mengalami kemacetan, sementara undang-undang yang ada saat ini juga tidak menjelaskan secara rinci kategori piutang negara.

"Di PUPN sendiri tidak menjelaskan apa saja kategori piutang negara. Jadi piutang negara yang diurus oleh PUPN adalah piutang macet, jadi jika tidak macet harus ditangani oleh pihak masing-masing, dan tentu saja diluar kasus fraud karena kalau fraud jelas akan masuk kasus korupsi” katanya.

Pakar Hukum Keuangan Negara, Siswo Sujanto juga menerangkan bahwa piutang saat ini cuma diatur dalam UU perbendaharaan yang mengatur tentang uang, barang dan piutang. “Nah kalo undang-undang utang negara itu ada di UU Nomor 24 tahun 2002 tentang surat utang negara, kenapa uu piutang negara tidak ada,” jelasnya.

Narasumber lainnya, Direktur Lelang Ditjen Kekayaan Negara Kemenkeu, Suryanto menambahkan jika BUMN/BUMD menyerahkan piutang macetnya ke Kemenkeu dalam hal ini Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) maka ada syaratnya.

“Jika mau mengajukan Piutang macet ke PUPN maka harus memenuhi syarat yaitu harus menyerahkan bukti hutang dan rinciannya, dan biasanya dari BUMN atau perbankan jika sudah terjadi piutang macet maka mereka bersifat kolektif untuk mengurusnya,” terangnya.

Suryanto menambahkan saat ini penyebab outstanding piutang macet sangat besar karena banyak kemampuan debitor sudah tidak ada, alamat tidak valid dan hal seperti ini mungkin kita perkuat dalam pasal-pasal dalam ruu yang akan kota bahas hari ini. Diharapkan dengan adanya RUU tersebut bisa memberikan solusi atas persoalan piutang macet negara dan daerah.***