ISTILAHJawa adalah kunci yang disebut seniman cum aktor Syubah Asa saat memerankan tokoh DN Aidit tentu bukan tanpa sebab. Jargon ini seperti mantra yang memengaruhi skema politik di Tanah Air.

Jawa adalah kunci  juga berpengaruh pada operandi politik akhir-akhir ini. Operasi politik, mengutip Jean Boudrillard, tidak melulu melalui praksis kerja, tetapi juga praksis komunikasi. Language is also a medium of domanations and power, sebut Habermas juga.

Jawa memang akan menjadi penentu mesin politik partai. Bila dihitung, sekitar separuh pemilih di Indonesia berada di tanah Jawa. Pada akhir 2017 lalu, KPU melansir Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Jawa mencapai 91,16 juta suara. Masing-masing terdiri dari 32,8 juta di Jawa Barat, 27,4 juta di Jawa Tengah, dan 30,96 juta di Jawa Timur. Daftar jumlah ini potentially akan bertambah hingga Juni 2018.

Jawa memang memiliki pesona politik luar biasa. Di Jawa, setiap agenda sosial hari ini selalu diterjemah menjadi agenda politik. Propaganda, provokasi, dan citra dalam politik mulai jelas tergambar ke dalam satu kanvas besar: golden ticket 2019. Bahkan, pergolakan untuk memantapkan tiket itu kadang ditempuh melalui dinamika yang tidak sekadar kompetitif, tetapi,"pada kadar tertentu- oportunis.

Di Jawa, kalkulasi politik mulai dirunut menjelang pilkada serentak tahun ketiga ini. Partai telah sigap memasang kuda-kuda dengan mempersonifikasikan aspirasi publik melalui pengenalan tokoh bintang mereka. Meski begitu, iklim politik nasional setidaknya terus bergulat pada dua kandidat utama, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. 

Partai pengusung Jokowi pada Pilpres 2014 silam, PDI Perjuangan, hari ini mulai “awas” setelah tumbang dua kali di dua daerah penting, DKI Jakarta dan Banten. Di Jakarta, Ahok-Djarot gugur oleh pasangan Anis-Sandi yang diusung koalisi Partai Gerindra, PKS, dan PAN. Begitu pula, PDIP kembali terpukul setelah pasangan Rano Karno-Embay Mulya dikalahkan pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumy di Banten.

Melirik Jawa Timur

Pilkada 2018 memang menjadi matematika politik untuk mengukur Pilpres 2019. Bagaimanapun, tensi politik nasional hari ini selalu mengerucut pada rivalitas Jokowi dan Prabowo. Pada pilpres lalu, Prabowo-Hatta berhasil memungut suara telak di Jawa Barat. Sekitar 14,16 juta masyarakat Pasundan memilih Prabowo-Hatta dari total 23,99 juta pemilih. Tetapi ia juga terpaksa tertunduk kalah di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memang menjadi basis PDIP.

Pada titik yang sama, Pilkada Jawa Timur terus menampakkan alur politik yang tanpa disangka. Di Kota Santri ini, muncul nama Khofifah Indar Parawansa bergandengan dengan Emil Elistianto Dardak yang memilih ‘mbalelo’ dari PDIP dengan menggunakan perahu Partai Demokrat, PPP, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan Partai Golkar. 

Panantangnya, koalisi PDIP-PKB menjagokan pasangan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Bupati Banyuangi yang bertabur prestasi, Abdullah Azwar Anas. Tetapi, pada enjury time, Azwar Anas terpaksa mengembalikan surat mandat akibat polarisasi opini publik atas berita tak sedap tentang dirinya. 

Sampai kini, PDIP dibuat kelimpungan mencari pengganti Azwar Anas. Ada beberapa figur potensial yang merebak ke publik sebagai pengganti, tetapi belum terpantau jelas. Belum ada finalisasi penetapan tokoh pengganti calon wakil Gus Ipul. Makanya, kejutan politik akan segera tersaji di Jawa Timur beberapa hari ke depan.

Justru yang menarik, Partai Gerindra, PKS, dan PAN belum memiliki afiliasi politik yang jelas. Kabar terakhir, ada tren “poros ketiga” dengan mengusung putri sulung Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid. Tetapi karena alasan tertentu, Yenny Wahid belum menerima pinangan Partai Gerinda sebagai basis figur “poros ketiga”. 

Memang, sebelumnya sudah tersebar beberapa figur sebagai penantang dua koalisi di Jawa Timur. Kader Partai Gerindra sendiri, Morena Soeprapto, misalnya, dan Bupati Bojonegoro, Suyoto. Tetapi, komonikasi itu harus terputus karena komunikasi politik yang ‘absurd’. Hingga kini, Partai Gerindra sontak masih “abu-abu” di Pilkada Jawa Timur 2018.

Investasi Prabowo 2019

Dengan jumlah pemilih tetap 30 juta lebih, Jawa Timur akan menjadi rebutan untuk memantapkan basis politik partai pada 2019 besok. Banyak pemerhati menyebut, kontestasi di Jawa Timur adalah miniatur dari kontestasi elektoral 2019: Jokowi dan Prabowo. Begitu pula, partai melalui figur yang diusungnya mulai berebut start untuk membujuk determinasi politik pemilih di Jawa Timur. Pertanyaannya, di mana posisi Partai Gerindra hari ini?

Dinamika politik Jawa Timur hari ini akan terus mejadi sorotan publisitas media. Setelah DKI Jakarta berhasil dimenangkan koalisi Partai Gerindra melalui figur Anis-Sandi, Jawa Timur kemudian menjadi wilayah prestisius bagi Prabowo. Dalam aspek geopolitik, Jawa Timur akan semakin memanas karena efek psikopolitik Pilkada DKI Jakarta kemarin.

Bila dicermati betul, tidak mungkin Prabowo akan menumpulkan animo politiknya untuk juga mengambil panggung di Jawa Timur. Hadirnya “poros ketiga” melalui koalisi solid Partai Gerindra, PKS, dan PAN digadang akan menjadi kekuatan baru di Jatim. Bukan mustahil, melalui strategi ketokohan dan referent power Prabowo, “poros ketiga” diprediksi akan bersaing ketat dengan dua kubu koalisi lainnya. 

Bagaimanapun, trio partai ini mesti hati-hati menyusun kekuatan politik di Jawa Timur. Kabar bahwa ketiga partai itu akan bergabung pada poros Gus Ipul, secara politis justru akan melemahkan mass power mereka pada Pilpres 2019 besok. 

Trio partai (Gerindra, PKS, dan PAN) sebenarnya bisa mengusung kandidat sendiri karena memenuhi persyaratan 20 lebih kursi di DPRD Jatim, dengan rincian Partai Gerindra 13 kursi, PAN memiliki 7 kursi, dan PKS 6 kursi. 

Sebab itu, golden ticket untuk Prabowo di Jawa Timur masih terbuka lebar jika trio partai berani membangun poros baru. Bila tidak, dua kandidat Pilkada Jatim (Gus Ipul dan Khafifah) akan memuluskan roda politik elektoral Jokowi 2019. Artinya, dalam perhitungan sederhana, Prabowo akan kehilangan panggung investasi sebagai sumber daya politik tahun depan.

Sejauh ini, tokoh yang cocok untuk menjadi aktor politik poros baru hanyalah La Nyalla Mattalitti. Meski sempat gagal dicalonkan Partai Gerindra, tetapi La Nyalla memiliki modal massa yang bisa diperhitungkan untuk menyaingi dua kubu calon. 

La Nyalla memiliki kekuatan di Kadin, HIPMI, Gapensi, Gapeknas, serta Ormas Pemuda Pancasila yang notabene memiliki anggota yang tersebar di semua kabupaten dan kota di Jawa Timur. La Nyalla memiliki modal politik yang matang ketimbang beberapa figur lain yang sempat menjadi pilihan politik Partai Gerindra dan koalisinya. 

Selain itu, La Nyalla sudah mengantongi dukungan politik kiai dari banyak pesantren di Jawa Timur. Jangan lupa, basis kekuatan kiai-santri di Jawa Timur justru memiliki preferensi politik paling tinggi. Karenanya, bisa saja La Nyalla hadir sebagai figur pamungkas dengan sentuhan strategi terbaik- bisa mengalahkan kedua kandidat lain. 

Bersambung dengan itu, Ir. Ristiyanto, pengamat politik dari Universitas Bung Karno, menilai bahwa “poros ketiga” adalah cara terbaik untuk menghidupkan peluang menang Prabowo di Jawa Timur pada 2019.

Ristiyanto juga menambahkan, kekalahan Prabowo di Jatim pada Pilpres 2014 silam hanya terpaut angka tipis: Jokowi-JK meraup suara 11,66 juta, sementara Prabowo-Hatta 10,27 juta suara. 

Bagi Ristiyanto, strategi poros baru, berapapun angka yang diperoleh nanti, akan menjadi investasi politik untuk mempersiapkan Prabowo di Pilpres 2019. Karena, rangkaian Pilkada 2018 menjadi jembatan penghubung dan modal penting untuk suksesi RI 1 di tahun mendatang.

Kepala UPT Ajaran Bung Karno UBK itu juga menyebutkan, figur Rachmawati Sukarnoputri sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra juga menjadi surplus kekuatan politik untuk “poros ketiga”. Rachmawati memang dikenal banyak kalangan sebagai sosok nasionalis yang memiliki hubungan dekat dengan masyarakat Nahdliyyin. Rachmawati juga vokal dalam menyampaikan aspirasi dan kritik kepada rezim hari ini.

Kita tunggu saja, apa kejutan yang akan ditampilkan Partai Gerindra dan koalisinya. Apakah mereka akan mengikuti alur dengan menjadi pendukung di antara dua kandidat, atau dengan cerdas dan berani mengusung tokoh baru, La Nyalla Mattaliti, misalnya, sebagai aktor “poros ketiga”. Asep Irama, Ketua Umum Front Pemuda Madura (FPM)