JAKARTA - Kompetisi Liga 1 telah rampung memainkan seluruh laganya. Sebanyak 34 pekan tersaji dalam kompetisi yang diikuti 18 tim di Nusantara itu. Bali United keluar sebagai juara dalam kompetisi yang disponsori oleh perusahaan Gojek dan Traveloka itu.

Ya,  Bali United adalah juara. Walau gelar tersebut tidak diakui PSSI yang memilih menetapkan Bhayangkara FC sebagai pemenang. Klub ajaib yang baru terbentuk itu mendapat hibah dua poin dari PSSI. Ini sebagai buntut atas skorsing terhadap Mitra Kukar saat berdapan dengan klub berbaret coklat tersebut. 

Mengenai detail kontroversi tersebut, seperti diberitakan Republika.co.id, yang sudah membahasnya dalam artikel berjudul 'Kontroversi Gelar Bhayangkara dan Liga Micin'. Khusus untuk tulisan kali ini saya ingin membahas juara sejati Liga 1, Bali United. Bali yang jadi juara sejati, bukan juara PSSI. 

Bali United memang perlu berbangga. Sebab dari segala sisi mereka memang pantas menjadi sang juara. Mereka adalah tim yang paling atraktif dengan tingkat produktivitas paling tinggi, yakni 76 gol. Penyerang mereka Sylvano Comvalius pun mencetak sejarah baru dengan menjadi top skorer terbaik dalam sejarah Liga Indonesia dengan mencetak 37 gol semusim.

Comvalius memecahkan rekor 34 gol Peri Sandria yang sudah bertahan 22 tahun lamanya. Tak pelak, aksi penyerang bertinggi 192 sentimeter menjadi fenomena tersendiri dari kompetisi Liga 1.

Hal lain yang pantas dipuji dari Bali United adalah mengenai sang pelatih Widodo C Putro. Ada kisah unik mengenai Bali dan Widodo di awal kompetisi Liga 1 musim ini. 

Eks pemain nasional era 1990-an itu sejatinya mengawali kompetisi Liga 1 bersama tim berbeda yakni Sriwijaya FC. Namun menjelang Liga 1 bergulir, Widodo malah dipecat Sriwijaya FC akibat prestasi yang dinilai kurang mengesankan.

Di sisi lain, Bali United mengawali Liga 1 bersama pelatih Austria, Hans Peter Schaller. Eks pelatih timnas Laos itu pun gagal membawa Bali berprestasi. Laskar Tridatu malah sempat terdampar di papan bawah Liga 1 pada pekan-pekan awal. Karena itu kemudian manajemen Bali memutuskan mengakhiri kontrak dengan Schaller di awal-awal kompetisi bergulir dan menggantinya dengan Widodo.

Seakan berjodoh, Bali United dan Widodo nyatanya menghasilkan kombinasi yang dahsyat. Perlahan tapi pasti, Bali United bangkit dari keterpurukannya. Dari tim papan bawah di awal musim, Widodo membawa Bali United mengakhiri kompetisi dengan nilai tertinggi. 

Widodo dan Bali menunjukkan bukti bahwa kejatuhan bukan menjadi permasalahan. Sebab kegagalan yang sejati adalah mana kala sebuah tim tak bisa bangkit saat terjatuh. Dan Bali jadi bukti bagaimana sepak bola memberi ruang kebangkitan selama 90 menit. 

Racikan ciamik dari Widodo ini yang kemudian mengantarkan Bali pantas menjadi juara. Dari kasat mata, performa Bali United di atas lapangan memang menjadi yang paling baik di musim ini, melebihi Bhayangkara FC sekalipun.

Tapi dengan segala atribusi kegemilangannya, gelar juara Bali malah direnggut PSSI. Organisasi yang sarat kontroversi ini dengan keputusan dari luar lapangan, malah memberi tambahan poin Bhayangkara yang sejatinya hanya mengakhiri kompetisi dengan poin 66. Ya, secara fakta 90 menit di atas lapangan, poin Bhayangkara memang berada di bawah Bali. Tapi lagi-lagi kekuasaan PSSI berbicara. 

Berangkat dari kasus Mohamed Sissoko yang sejatinya juga menjadi kealpaan pengelola liga dan PSSI, Bali United yang malah kena getahnya. Kondisi ini menimbulkan kemarahan luas pencinta sepak bola. Para suporter banyak yang beranggapan PSSI telah merusak sebuah esensi kompetisi sepak bola yang fair.

Liga 1 yang awalnya diharapkan mampu menghasilkan tontonan bermutu akhirnya harus dirusak oleh dagelan di akhir musim. Liga yang awalnya menarik pun kini dianggap sebagai sebuah lelucon besar. Ada yang kemudian memelesetkan liga ini sebagai sebuah liga sirkus, bukan sebuah liga sepak bola. Sebab juaranya diraih dengan cara aneh bin ajaib. 

Yang rugi dari semua ini tentu segenap insan sepak bola. Sebab PSSI dinilai tak mampu menjamin tersajinya iklim kompetisi yang mengedepankan nilai olahraga. Celakanya yang terpampang di depan mata malah kompetisi yang mengedepankan olah kuasa. Kekuasaan yang berbicara. Juara pun ditetapkan oleh palu komisi disiplin PSSI. 

Saat kompetisi bukan menghasilkan output yang terbaik, maka jangan berharap ada hasil terbaik pula bagi persepakbolaan nasional. Kita tentu bisa berkaca mengapa sepak bola kita tak pernah menorehkan prestasi. Sebab selama ini kompetisi lokal belum sungguh-sungguh menjadi ladang investasi untuk menuju prestasi.

Selama ini pula kompetisi sepak bola nasional, Liga 1, belum bisa menjadi sarana mendidik kedewasaan, kedisiplinan, dan fair play. Tiga elemen dasar yang sejatinya menjadi bekal setiap pemain ketika berlaga di level internasional. Dan elemen itu adalah barang langka di kompetisi sepak bola Indonesia, wabil khusus Liga 1 musim ini.

Kita bisa mencontoh peristiwa yang dilakukan oleh pemain Persela Lamongan, Saddil Ramdani di laga final Piala AFF U-18 2017. Saddil mendapat kartu merah di laga final melawan Thailand akibat aksi tidak sportifnya. Aksi yang dilakukan Saddil adalah buah dari kompetisi Liga 1 yang selama ini tidak tegas dalam menindak pelanggaran di atas lapangan. 

Yang terjadi dalam keputusan menambah poin bagi Bhayangkara pun tak kalah destruktifnya dalam merusak mental dan kultur pesepak bola nasional. Ada preseden baru yang tercipta bahwa hasil di atas lapangan bisa digugat di jalur luar lapangan. Walhasil jika nanti timnas kalah di level internasional, maka ilmu barunya adalah protes dan lobi federasi untuk mengubah hasil laga. Dan voila! mudah-mudahan hasilnya bisa sama seperti keajaiban Liga 1. 

Selain pencinta sepak bola nasional, kerugian yang ditimbulkan Liga 1 musim ini menimpa sponsor kompetisi. Sponsor yang berinvestasi tentu tak hanya demi membantu kemajuan sepak bola, namun juga kemajuan citra dan bisnis mereka. Dan yang menimpa Gojek dan Traveloka di Liga 1 agak sulit mencapai keduanya.

Sulit rasanya melihat sepak bola kita maju bila merujuk kualitas Liga 1 musim ini yang penuh kontroversi. Dan sulit pula bagi Gojek dan Traveloka untuk mendapat kesan baik bagi mereka dari kompetisi liga musim ini. Sebab kompetisi kini malah menjadi sasaran olok-olok masyarakat. 

Semoga saja segala problem di Liga 1 musim ini hanya sekadar mimpi buruk bagi persepakbolaan nasional. Kita tentu berharap kompetisi sepak bola nasional bisa lebih baik dan menjunjung tinggi nilai olahraga. Bukan justru menjunjung relasi kuasa.

Mengakhiri tulisan ini, saya kembali ingin mengucapkan selamat kepada Bali United yang telah mengarungi musim sebagai tim juara. Tidak ada alasan bagi Irfan Bachdim dan kawan-kawan untuk tak merayakan keberhasilan mereka. Sekalipun PSSI tak memberi mereka piala, hal itu tidaklah mengapa. Sebab piala bagi sang juara sejati adalah pengakuan dari seluruh masyarakat pencinta sepak bola.

Sebaliknya, jadi tak berarti bagi tim yang meraih piala jika kemudian gelar mereka malah mengundang olok-olok semata. Semewah-mewahnya piala yang dianugerahkan PSSI, tetap tak ada artinya jika gelar itu tak diakui para pencinta sepak bola Indonesia. Sebab juara sejati memang bukan ditentukan oleh keputusan pejabat di atas secarik kertas keputusan. Juara sejati ditentukan oleh manusia-manusia yang bertarung 90 menit dalam 34 pekan di atas lapangan! ***