JAKARTA - Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai bahwa registrasi kartu prabayar berpotensi mengganggu hak atas privasi warga negara. Pasalnya, dalam aturannya, pemerintah mengharuskan masyarakat meminta pelanggan kartu SIM prabayar untuk menyertakan NIK, KK, bahkan nama gadis ibu.

Hal ini seperti tertuang dalam Permen Kominfo No. 12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi. Pasal yang mengatur soal penggunaan nama ibu kandung pun tak diubah dalam aturan perubahan Permen Kominfo Nomor 14 Tahun 2017.

Sehingga, pasal yang mengatur untuk memperbolehkan nama ibu kandung untuk menjadi opsi registrasi ulang masih berlaku.

Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengumumkan bahwa masyarakat perlu melakukan registrasi ulang data kartu SIM.

Kali ini, Kominfo bekerjasama dengan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan validasi data. 

Tujuh negara wajibkan registrasi ?

“Meskipun kewajiban registrasi SIM card ada di tujuh negara lainnya di dunia, minimnya jaminan perlindungan data pribadi maupun privasi secara umum di Indonesia berpotensi mengancam keamanan data masyarakat sendiri,” terang Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Riset ELSAM saat ditemui pada Selasa (17/10).

Beberapa negara yang wajib melakukan registrasi kartu SIM sendiri adalah Brasil, China, Pakistan, Arab Saudi, Swiss dan Zimbabwe. Namun registrasi dilakukan dengan paspor bukan NIK.

“Kalau paspor kan tidak bisa melacak secara jelas di mana alamat, siapa saja keluarga dan catatan sipil seseorang. Apalagi nama kandung ibu itu adalah data yang sangat sensitif. Itu merupakan super password,” lanjut Wahyudi.

Perlindungan data tak terjamin

Masalah lainnya adalah potensi ancaman dari proses registrasi kartu SIM itu sendiri. Hal ini secara teknis tercermin dari proses registrasi yang pengumpulan datanya dilakukan dengan mengirimkan SMS ke nomor tertentu.

Pengumpulan data NIK maupun KK memang akan dilakukan oleh pemerintah namun pengiriman dilakukan melalui SMS dan divalidasi oleh operator. Pesan yang dikirim pelanggan pastinya akan menuju Short Message Service Center terlebih dahulu.

Sayangnya, tak ada mekanisme untuk memastikan data pribadi pelanggan dilindungi dalam proses tersebut. 

Parahnya, Indonesia juga tak memiliki mekanisme bagi pelanggan kartu SIM yang ingin menyatakan keberatan informasinya bocor ke pihak lain atau dimanfaatkan oleh operator. Padahal, kontrak dengan operator telekomunikasi umumnya hanya untuk layanan berkomunikasi semata.

Sebelumnya, operator sempat menyebutkan kalau mereka menjamin kalau data pelangan yang didaftarkan akan dijamin kerahasiaannya. "Hal ini mengacu kepada Undang-undang tentang kerahasiaan data pelanggan," tutur Tri Wahyuningsih, General Manager Corporate Communication XL Axiata.***