JAKARTA - Tahun 2018 adalah tahun politik. Tahun yang sangat krusial menjelang Pileg dan Pilpres serentak 2019. Sudah jadi “rahasia umum” bahwa tahun tersebut sarat dengan agenda politik praktis. Bagi petahana, tentunya, agenda besarnya adalah mempertahankan kekuasaan. Tak heran, jika APBN berpotensi besar disulap menjadi anggaran (pemenangan) politik, program-program disetir untuk penguatan basis-basis politik tertentu, sehingga tak lagi murni untuk mencapai target pembangunan.

Hal ini diungkapkan oleh Anggota Komisi XI DPR F-Gerinda, Heri Gunawan. menurutnya, Presiden Jokowi harus tetap fokus dan konsisten melaksanakan APBN 2018, sebagai tugas konstitusionalnya demi sebesar-besarnya pencapaian target pembangunan. "Jangan sampai seluruh program yang ada disulap menjadi “alat” penguatan basis-basis politik dan sarana kampanye pencitraan. Apalagi Pak Jokowi sebagai incumbent diperkirakan akan maju sebagai Calon Presiden 2019," ujarnya kepada GoNews.co melalui siaran persenya, Selasa (19/9/2017).

Sekarang saja kata dia, hanya untuk membagi sertifikat tanah, Presiden Jokowi musti turun langsung. Padahal, bagi-bagi sertifikat tanah adalah pekerjaan yang terlalu teknis untuk ukuran Presiden. Pekerjaan demikian cukup oleh aparatur teknis di bawahnya. Atau, setidak-tidaknya, kelas Menteri, Gubernur, atau Bupati/walikota setempat. "Terlalu mencolok pencitraannya kalau sampai harus sekelas Presiden yang turun langsung. Ketimbang bagi-bagi sertifikat tanah, masih lebih baik presiden memikirkan tentang potensi dikuasainya tanah rakyat oleh pemodal besar. Atau, misalnya, memikirkan solusi atas keluhan aparat desa yang muncul akibat ditiadakannya polorogo. Rakyat makin cerdas dan bisa dengan mudah membedakan mana yang sungguh-sungguh bekerja dan mana yang pencitraan," tandasnya.

Pada tahun 2018 nanti sambungnya, hal serupa diperkirakan akan terus terjadi bahkan mungkin lebih masif. "Pak Jokowi sebagai Presiden akan larut dalam kegiatan yang sangat teknis yang seharusnya bukan ranahnya. Ada aparat teknis yang memang porsinya di situ. Kalau sampai harus Presiden yang menangani semuanya, maka bisa-bisa aparat yang bertugas mengurusi hal-hal teknis akan libur. Padahal, mereka sudah digaji rakyat,"tegasnya.

Kalaupun, misalnya, itu adalah kegiatan kampanye, maka katanya lagi, ada saatnya. "Aturannya saja belum dibahas. Tak elok seorang yang sedang menjabat Presiden berkampanye untuk jadi Calon Presiden. Pak Jokowi masih Presiden, dan karena itu, dia terikat dengan perintah konstitusional yang tidak ringan. Jangan sampai waktunya tersita hanya untuk bagi-bagi sertifikat tanah atau wara-wiri di lokasi proyek," tandasnya.

Presiden itu kata dia, punya tugas untuk berpikir dan memastikan pembantu-pembatunya bekerja dengan baik dan have a good perform untuk sebesar-besarnya memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap bangsa Indonesia, serta terlibat aktif dalam menjaga ketertiban dunia.

Apalagi sambungnya, saat ini banyak PR besar yang masih terkatung-katung: utang negara yang sudah mencapai Rp3.779, ketimpangan ekonomi yang mencapai 0,39; kemiskinan yang mencapai angka 27,77 juta jiwa; rata-rata anak bersekolah yang masih di bawah 8 tahun; ancaman disintegrasi; bahaya bangkitnya PKI; sampai tragedi kemanusiaan Rohingya. "Itu adalah tugas berat yang dipikul Presiden. Dan itu tak bisa dijawab dengan masuk-keluar got," tegas dia.

Jokowi juga diingatkan agar konsentrasi terhadap pelaksanaan APBN 2018 berjalan sesuai rencana dan tetap pada rules yang ada. "Jangan sampai melenceng dari tujuan semula. Apalagi disulap menjadi “alat” kampanye politik sehingga akhirnya tidak tepat sasaran. Untuk diketahui, belanja dalam RAPBN 2018 dipatok sebesar Rp2.109 triliun. Naik 5 persen (Rp15,5 triliun) dari APBNP 2017. Kenaikan belanja paling besar ada di belanja pusat sebesar Rp1.443 triliun atau naik 7 persen dari APBNP 2017," tukasnya lagi.

Pada konteks ini katanya lagi, ada beberapa item belanja yang harus diwaspadai disetir untuk tujuan politik antara lain: anggaran perlindungan sosial tersebut terdiri dari subsidi di luar subsidi pajak sebesar Rp 161,6 triliun; Program Keluarga Harapan (PKH) yang naik dari Rp 9,98 triliun menjadi Rp 17,3 triliun di 2018; serta Program Indonesia Pintar yang juga naik dari Rp 9,5 triliun menjadi Rp 10,8 triliun, atau Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi warga miskin dan penerima bantuan iuran (PBI) ditetapkan sebesar Rp 25,5 triliun. Lalu, bantuan pangan Rp 13,5 triliun dan dana desa Rp 60 triliun.

"Sebab itu, kita patut untuk terus mengawasi pelaksanaan APBN 2018 agar tidak melenceng dari tujuannya semula. Rakyat Indonesia harus tahu bahwa anggaran itu salah satunya bersumber dari Utang Negara yang sejak Januari 2017 sudah bertambah Rp313 triliun. Itu semua adalah hak seluruh rakyat Indonesia sehingga wajib hukumnya untuk terus diawasi dan dimintai pertanggungjawabannya secara transparan," pungkasnya.***