MEDAN - Terkait disahkannya Perpu No 2 Tahun 2017 tentang organisasi masyarakat (ormas), pengamat sosial dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Mujahiddin, S.Sos, MSP mengatakan hal ini dikawatirkan akan membuat pemerintah menjadi otoriter khususnya dalam dinamika organisasi kemasyarakatan. Sebab selama ini untuk membubarkan ormas dibutuhkan langkah yang panjang, mulai dari langkah persuasif, memberikan peringatan tertulis, dan menghentikan kegiatan sementara.

“Kalau mamu membubarkan pemerintah harus meminta persetujuan dari pengadilan lebih dahulu. Tetapi dengan adanya Perpu ini sepertinya pemerintah dapat langsung membubarkann satu ormas tanpa melewati tahapan-tahapan tersebut. Di situlah kita kawatir pemerintah akan bersikap otoriter,” jelas Muja, Jumat (14/7/2017).

Lebih lanjut Mujahiddin menjelaskan, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Jokowi hari ini hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh pemerintahan Soeharto pada era orde baru. Di mana pemerintah dapat melakukan tindakan yang tegas apabila ada satu organisasi yang bertentangan dengan idiologi negara.

“Dulu di zaman orde baru juga seperti ini. Apabila ada yang menentang kebijakan dan program-program pembangunan Soeharto maka akan dianggap anti pancasila. Sekarang situasi itu hampir sama. Jika ada ormas atau kegiatan apa-pun yang tidak mendukung pemerintah atau bertentangan dengan keinginan pemerintah maka dianggap sebagai anti pancasila,” tegasnya.

Jadi menurut Mujahiddin, kebijakan dengan mengeluarkan Perpu ini sangatlah politis. Apalagi isu soal aktifitas ormas yang anti pancasila dan kebinekaan mulai muncul pasca pilkada DKI Jakarta.

“Dulu pada masa SBY sempat ada isu ingin membubarkan FPI setelah mereka melakukan aksi masa di silang monas. Namun isu itu akhirnya berhenti begitu saja. Sekarang kalau kita perhatikan situasinya isu itu masih terus dipertahankan. Apalagi kita ingat ada aksi masa yang sangat besar pada saat pilkada DKI beberapa waktu lalu. Kita taula kalau aksi itu sangat merugikan bagi pemerintah,” jelasnya.

Oleh karenanya, Mujahiddin berharap, pemerintah dapat bersikap lebih arif dan lebih bijak dalam mengambil kebijakan. Sebab belum tentu juga dengan adanya Perpu ini aktifitas anti pancasila dan anti-kebinekaan dapat terkontrol.

“Kan belum tentun juga Perpu ini dapat meredam aktifitas-aktifitas anti pancasila. Dan soal stigma anti pancasila itu pemerintah harus jelas. Apa indikator satu organisasi itu disebut anti pancasila? Jangan nanti pemerintah memanfaatkan ini untuk kepentingan kelompok tertentu dengan secara sembarangan dapat membubarkan satu organisasi karena dianggap anti pancasila. Itu kan tidak boleh, harus jelas semuanya,” tuturnya.

Itu sebabnya saat ini HTI terkena dampak dari pelebelan anti pancasila yang dibuat oleh pemerintah. Padahal, jika HTI anti pancasila harusnya pemerintah dapat menunjukkan bukti-bukti kuat tentang itu.

“Ya harusnya jangan lagi main tuduh karena HTI dapat dirugikan dalam hal ini. Lagian HTI itu sudah lama ada di Indonesia, kenapa baru sekarang disinggung soal anti pancasila? Selama ini pemerintah kemana saja? Itukan logika berpikirnya,” jelasnya.

Namun ketika ditanya apakah gugatan HTI dapat menang di pengadilan, Muja mengatakan hal itu sangat tergantung dari isi tuntutan yang diajukan.