MEDAN-Langkah pemerintah Indonesia memprotes Resolusi Parlemen Uni Eropa yang membatasi impor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia ke pasar Eropa dinilai sudah tepat.

Namun menurut Ketua Komite II DPD Parlindungan Purba, resolusi tersebut harus dijadikan momentum bagi perbaikan industri sawit dalam negeri. Hal ini disampaikan Parlindungan Purba dalam siaran pers yang diterima saat menanggapi rencana pemboikotan sawit oleh Parlemen Uni Eropa tersebut.

Para anggota Parlemen Uni Eropa ini, kata Parlindungan, menilai bahwa komoditas sawit dari Indonesia masih menciptakan banyak masalah mulai dari deforestasi, korupsi, pekerja anak-anak, hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

"Langkah pemerintah memprotes usulan resolusi Parlemen Uni Eropa itu sudah tepat, namun resolusi tersebut harus kita dijadikan momentum perbaikan industri sawit dalam negeri sehingga standar komoditas dan tata kelola sawit kita menjadi lebih baik lagi," katanya.

Parlindungan mengatakan, terlepas dari tudingan tersebut atau adanya motif persaingan kepentingan bisnis, upaya perbaikan sektor komoditas unggulan seperti sawit ini harus segera dilakukan sehingga isu-isu negatif tersebut tidak bisa dimainkan lagi oleh kompetitor yang tidak ingin produk Indonesia unggul di pasaran.

"Jangan sampai kesalahan yang ada dijadikan alat kampanye negatif sawit Indonesia. Sehingga membuat citra Indonesia menjadi buruk di mata dunia," kata dia.

Ancaman boikot dari dunia internasional, lanjut Parlindungan, juga pernah dialami sebelumnya seperti dalam kasus pemboikotan produk kertas dan tisu oleh Singapura. Untuk itu, kesalahan dan kekurangan yang ada pada sistem perlu diperbaiki dan diantisipasi sehingga tidak menjadi sandungan di masa depan.

Anggota DPD asal Sumut ini juga mengatakan bahwa Indonesia sebagai penghasil terbesar minyak sawit bersertifikasi di dunia dengan produksi 6,5 juta ton atau 52% dari 12,65 juta ton total produksi minyak sawit bersertifikat global perlu menjaga citranya.

Sehingga produk andalan dan kebanggaan Indonesia ini bisa terus menjadi income utama perekonomian bangsa. Karena sektor ini merupakan salah satu penyumbang pemasukan terbesar dari sektor non-minyak bumi dan gas (migas) yakni sebesar 75%.

Parlindungan menambahkan, hingga saat ini baru 1,82 juta hektare yang sudah mendapatkan sertifikasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Itu artinya baru 13% hingga 14% dari seluruh lahan kelapa sawit di Indonesia yang bersertifikat memenuhi standar.

"Untuk itu perlu kita dorong bersama agar seluruh lahan kelapa sawit di Indonesia mendapat sertifikat standar sawit berkelanjutan," ujarnya.