MEDAN-Tingkat kemampuan atau daya beli petani Sumatera Utara (Sumut) bulan Maret 2017 kembali melorot. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, daya beli yang tercermin dari Nilai Tukar Petani (NTP) tercatat mengalami penurunan 0,03% dari 99,80 pada Februari 2017 menjadi 99,77.

Penurunan disebabkan oleh turunnya NTP subsektor tanaman pangan (padi dan palawija) sebesar 0,41% menjadi 94,55, dan subsektor hortikultura turun sebesar 0,07% menjadi 94,94.

Pengamat ekonomi Sumut Gunawan Benjamin mengatakan, melorotnya daya beli petani harus menjadi "PR" besar pemerintah sebagai upaya dalam membenahi masalah pangan.

"Memang tidak bisa dipungkiri kalau penurunan harga kebutuhan pangan masyarakat mengalami penurunan akan memperbaiki daya beli konsumen. Tapi di sisi lain, deflasi juga memicu tekanan daya beli bagi petani. Jadi kebijakan yang dibutuhkan itu adalah kestabilan harga. Ini "PR" besar pemerintah," kata Gunawan, Selasa (4/4) di Medan.

Secara keseluruhan, kata dia, harga produk pangan memang berfluktuasi. Tetapi memang yang namanya konsumen itu jumlahnya jauh lebih banyak dari petaninya. Sehingga "terjebak" untuk lebih mengedepankan kebijakan melindungi konsumen. Padahal di satu sisi, daya beli petani akan terpuruk akibat harga jual yang anjlok.

Menurut Gunawan, petani juga masyarakat yang berhak mendapatkan perlindungan kebijakan termasuk dalam kebijakan ekonomi. Dalam hal inilah pemerintah punya tanggungjawab untuk menstabilkan harga.

Sayangnya, fungsi tanggungjawab itu sepertinya tidak berjalan baik apalagi optimal. Semua pembentukan harga diserahkan ke mekanisme pasar.

"Jadi antara konsumen dan petani itu dibiarkan saling mempengaruhi harga tanpa ada campur tangan yang besar dari pemerintah," katanya.

Menurutnya, ada banyak cara untuk membuat harga stabil. Campur tangan dari hulu ke hilir itu penting. Dibanyak negara besar, pemerintahnya itu pro aktif untuk membereskan masalah pangan. Mulai dari pembibitan, hingga jalur distribusi serta pembatasan harga.

Jika hal itu juga bisa diterapkan di Sumut, maka dalam jangka panjang baik petani dan konsumen sama-sama terlindungi. "Jadi ada keadilan bagi seluruh masyarakat di Sumut," kata Gunawan.

Kepala BPS Sumut Syech Suhaimi mengatakan, NTP merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Hal ini merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan.

NTP juga menunjukkan daya tukar produk pertanian dengan barang/jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Karena itu, semakin tinggi NTP, relatif semakin kuat pula kemampuan atau daya beli petani, dan sebaliknya.

"Artinya semakin rendah nilai NTP, maka daya beli petani juga semakin rendah," katanya.

Suhaimi melanjutkan, perubahan Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) mencerminkan angka inflasi/deflasi perdesaan. Pada Maret 2017, terjadi deflasi perdesaan di Sumut sebesar 0,18%.

Hal itu disebabkan kenaikan indeks pada lima kelompok konsumsi rumah tangga yaitu indeks kelompok makanan jadi sebesar 0,43%, indeks kelompok perumahan sebesar 1,36% indeks kelompok sandang sebesar 0,19%, indeks kelompok kesehatan sebesar 0,34%, dan indeks kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga sebesar 0,05%.

Sementara indeks kelompok bahan makanan turun sebesar 0,07% dan kelompok transportasi dan komunikasi turun 0,34%