JAKARTA - Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz sejak akhir Februari lalu menggelar kunjungan ke sejumlah negara di Asia.

Perjalanan raja berusia 81 tahun itu dimulai di Malaysia selama empat hari, kemudian dilanjutkan ke Indonesia juga empat hari.

Dilanjutkan singgah beberapa jam di Brunei sebelum diselingi liburan di Pulau Dewata, Bali.

Hingga berita ini diunggah, Rabu (8/3/2017), Raja Salman dan rombongannya masih berada di Bali.

Usai berlibur, Raja Salman dan rombongannya akan melanjutkan perjalanan menuju ke Jepang dan China. Sehingga total perjalanan dinas Raja Salman nantinya kurang lebih selama satu bulan.

Sebagai sebuah negara monarki absolut, maka segala urusan pemerintahan Arab Saudi ada di tangan Raja Salman yang berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Pertanyaannya, dengan perjalanan dinas ke luar negeri yang cukup panjang ini, siapa yang mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi?

Sesuai dengan sistem pemerintahan Arab Saudi, maka orang nomor dua yang mengendalikan pemerintahan saat sang raja berhalangan atau dalam perjalanan dinas ke luar negeri adalah sang putra mahkota.

Saat ini putra mahkota yang juga merangkap sebagai wakil perdana menteri adalah Pangeran Muhammad bin Nayef (57).

Pangeran Muhammad bin Nayef resmi menjadi putra mahkota Kerajaan Arab Saudi sejak 29 April 2015 menggantikan Pangeran Muqrin bin Abdulaziz.

Selain menjadi putra mahkota dan wakil perdana menteri, Pangeran Muhammad bin Nayef juga menjabat menteri dalam negeri sejak 5 November 2012.

Mengapa Muhammad bin Nayef baru resmi menjadi putra mahkota Arab Saudi pada 2015?

Saat Raja Abdullah berkuasa, dia memperkenalkan sebuah lembaga bernama Komisi Kepatuhan (Allegiance Commission) pada 7 Desember 2007.

Lembaga ini bertugas untuk mengatur suksesi kekuasaan di Arab Saudi Namun, di saat baru terbentuk, komisi ini hanya berfungsi menunjuk putra mahkota begitu seorang raja baru berkuasa.

Awalnya, penunjukan putra mahkota biasanya dilakukan lewat sebuah konsensus informal di antara anggota keluarga kerajaan.

Namun, setelah Raja Abdullah naik tahta menggantikan Raja Fahd, di balik layar perebutan posisi putra mahkota semakin sengit.

Dengan meningkatnya ketegangan akibat perebutan posisi penting itu, pada 2006 Raja Abdullah menerbitkan Undang-undang Institusi Kepatuhan yang sekaligus melahirkan lembaga Komisi Kepatuhan.

Sehingga selain berbagai usul dari anggota inti keluarga kerajaan, lembaga ini menjadi salah satu unsur penting dalam menentukan nama putra mahkota Kerajaan Arab Saudi.

Setelah dibentuk lembaga ini langsung bekerja dengan memutuskan Pangeran Sultan bin Abulaziz Al Saud sebagai putra mahkota calon pengganti Raja Abdullah.

Namun, pada 2009, ketika Pangeran Sultan dalam kondisi kritis akibat kanker yang dideritanya, keluarga kerajaan menunjuk Pangeran Nayef sebagai wakil perdana menteri.

Padahal, jabatan ini biasanya dipegang oleh seorang putra mahkota yang sudah dipastikan bakal menggantikan raja yang sedang berkuasa.

Penunjukan Pangeran Nayef ini dipertanyakan berbagai faksi di dalam internal Dinasti Saud sekaligus mempertanyakan wewenang komisi.

Komisi ini kembali berfungsi setelah Pangeran Sultan meninggal dunia pada 2011. Sepekan setelah wafatnya sang pangeran, Raja Abdullah mengumumkan bahwa komisi menunjuk Pangeran Nayef sebagai putra mahkota.

Namun, kondisi seperti pada 2009 terulang ketika komisi mendukung penunjukkan Pangeran Salman sebagai puutra mahkota pada Juni 2012.

Saat Raja Abdullah wafat pada 2015, Pangeran Salman naik tahta dan Pangeran Muqrin, adik termuda Salman, menjadi putra mahkota.

Namun setelah hanya "menjabat" selama kurang lebih tiga bulan, Raja Salman mengumumkan bahwa Pangeran Muhammad bin Nayef, sejak 29 April 2015, diangkat menjadi putra mahkota hingga saat ini.(kpc)