MEDAN - Kisruh antara pengemudi betor dan pengemudi angkutan berbasis aplikasi online dan berbuntut penganiayaan terhadap seorang pengemudi Grab - Taksi di depan Plaza Medan, Jalan Gatot Subroto Medan adalah kelalaian pemerintah.  "Kejadian itu merupakan kelalaian pemerintah dalam mengatur moda transportasi umum yang beroperasi di Medan. Juga ketidaksiapan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih menyejahterakan masyarakat," ungkap Ketua Lembaga Study dan Advokasi Transportasi Sumatera Utara (LSAT-Sumut), Syukrinaldi menilai, kepada GoSumut lewat sambungan telepon, Kamis (23/2/3017).

Syukri menjelaskan, kejadian itu bukan merupakan hal baru. Sebab, ungkapnya, Itu bentuk kekecewaan atas kurangnya perhatian pemerintah terhadap nasib pengemudi becak dan angkutan umum lainnya, yang semakin tersaingi dengan munculnya Go-Jek atau Grab Car. 

Pemerintah, menurut Syukri, harusnya membuat suatu langkah atau solusi untuk memecahkan masalah yang saat ini sedang terjadi. Jika hal tersebut diabaikan, maka nasib ribuan pengemudi becak dan angkutan umum akan tamat. Sementara kebutuhan ekonomi masyarakat terus meningkat. 

"Itu kan sudah pernah terjadi. Kalau dulu ada Damri dan angkutan kota, muncul angkutan baru seperti taksi, berapa kali ada pembajakan supir taksi. Jadi ini sudah menjadi tradisi, akan selalu ada sabotase-sabotase untuk menghantui pengemudi-pengemudi angkutan umum baru itu. Dan di kota-kota besar akan selalu terjadi hal itu," jelasnya. 

Ia menambahkan, persaingan dalam dunia bisnis selalu ada dan hal itu merupakan wajar. Akan tetapi, persaingan seharusnya tidak memakan korban, terlebih lagi dapat menimbulkan ketakutan bagi para pengguna jasa transportasi umum. Karenanya, sekali lagi, Syukri menyebut pemerintah harus tanggap sebelum masalah semakin melebar dan meluas di masyarakat. 

"Jadi ini sebenarnya persaingan. Jangan pula persaingan ini jadi pemicu ketidaknyamanan para pengguna jasa transportasi umum. Persaingan yang tidak sehat akan menimbulkan ancaman bagi masyarakat," tambahnya.

  Sukri menerangkan, Go-Jek atau Grab Car memang dalam pelayanannya memberikan tarif yang cukup ekonomis. Hal inilah yang membuat perusahaan itu laris di kalangan masyarakat dengan strata ekonomi ke bawah. Meski begitu, kenyamanan, terutama keselamatan pengguna jasa dan pengemudi harusnya menjadi tanggung jawab prioritas perusahaan.

Semenjak munculnya peristiwa penganiayaan itu, masyarakat kian resah dan dihantui rasa ketakutan. Untuk itu, dampak ini seharusnya tidak akan terjadi jika dari awal pemerintahan tanggap dan memberikan peraturan khusus mengenai tata operasional angkutan umum berbasis online, baik itu jumlah unit, tarif hingga fasilitas keamanan dan kenyamanan bagi pengguna. 

Pemerintah provinsi maupun kota, kata dia, hendaknya mengatur lebih dulu mengenai operasional dan dampak lainnya, sebelum mengeluarkan izin beroperasi perusahaan itu. 

"Lantas dengan adanya angkutan yang murah, bukan berarti menjamin keselamatan pengguna angkutan itu. Untuk pemerintah, seharusnya buatlah Perdanya yang mengatur ini. Kalau sekarang ini, kan belum ada. Para pengemudi becak pastinya akan sangat kesal dengan tarif yang begitu murah ditawarkan Go-Jek atau Grab Car itu tadi. Sehingga ini berdampak terhadap menurunnya pengguna becak. Ini juga menjadi persaingan yang tidak sehat di tengah-tengah masyarakat kota yang kebutuhan ekonomi cukup tinggi," terangnya.  

Terakhir, Syukri menyarankan, kepada para pengguna jasa transportasi hendaknya menjadi polisi bagi diri sendiri, juga para pengemudi. Ini berguna dalam menjaga kondusifitas di tengah-tengah masyarakat, untuk mengantisipasi tindak kejahatan. 

"Jadi saran saya, jadilah polisi saat menggunakan jasa angkutan umum dan jadilah polisi saat jadi pengguna jalan umum," tandas Syukri.