MEDAN - Isu berdimensi Suku Agama Ras dan Aliran (SARA), tidak efektif di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), DKI. Harusnya, suara Ahok hancur karena pengadilan penistaan agama. Tapi nyatanya tidak. Tentu ada yang harus dipelajari lagi kenapa Ahok bisa menang mengungguli dua pesaingnya. Kalau di TPS Habib Rizieq, Ahok menang, ya itulah fakta. Jika di TPS Djarot - Ahok, menang Anies - Sandi, itulah suara rakyat.

Menanggapi hal tersebut, akademisi sosial politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar angkat bicara.

Ia mengungkapkan kerguannya akan proses dan pernyataan tentang kemenangan tersebut. "Keraguan saya kepada proses pilkada dan perhelatan membuat saya ragu pernyataan itu. Tanpa data pilkada umat beragama apa saja di dunia memiliki fenomena serupa," ungkap Shohib ketika ditemui GoSumut di ruang kerjanya, Kamis, (16/2/2017).

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD - IMM), Sumut priode 1986 - 1988 ini menegaskan, Tantangan utk DKI ialah seberapa toleran ia kepada kriminal demokrasi yang akan menjadi cerminan utk Indonesia.

"Jika DKI mencontohkan kebobrokan di luar batas toleransi moral manusia sehat, percayalah mainan ini adalah sesuatu yang meruntuhkan Indonesia," tegasnya.

Namun ketika ditanya terkait kebobrokan sisitem pemilu yang pada Intinya adalah kebobrokan KPU yang diamanahkan pemerintah sebagai penyelenggara ? Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (LHKP - PWMSU) ini tertawa kecil. "Ha ha. Satu - satunya resep menganalisis perhelatan demokrasi Indonesia (pilkades, pilwali, pilbub, pilgub, pilpres dan pileg) adalah scenario kejahatan (criminal democracy). Lucu menyimaak komentar - komentar pembodohan yang disiarkan media," imbuh Shohib.

Selain itu, ia menambahkan, Inilah contoh kasus terbaik untuk menganalisis perhelatan politik Indonesia di luar pemilu 1955 dan 1999. "Seberapa besar toleran terhadap criminal democracy. Itu key point yang benar," tambahnya.