JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Fahira Idris menganggap wacana pemerintah melakukan sertifikasi ulama hanya membuang waktu dan anggaran saja. Apalagi, kata dia, wacana tersebut menuai pro dan kontra dari sejumlah kalangan termasuk ormas-ormas Islam.

"Kementerian Agama hanya membuang waktu dan biaya saja untuk menggodok program sertifikasi ulama ini," kata Fahira di kantor Gubernur Sulawesi Selatam, Senin, 13 Februari 2017.

Ia menjelaskan bahwa saat ini NU, Muhammadiyah dan MUI telah mengeluarkan anggaran besar untuk standarisasi khatib salat Jumat.

"Jadi untuk apa lagi pemerintah mau keluarkan anggaran untuk itu," tutur Fahira.

Fahira menilai jika Kementerian Agama ini hanya terkesan atau terbawa dengam kondisi yang ada di Indonesaia saja. Sehingga, mewacanakan standarisasi bagi kaum ulama dan para khatib salat Jumat.

"Kemenag ini seolah-olah hanya tergerak dari persoalan kasus Basuki Tjahja Purnama dan Habib Rizieq saja. Dan kebetulan ini mengena dalam beberapa hari terakhir ini," kata Fahira.

DPD, kata Fahira, berencana memanggil Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin terkait rencana itu. "Kami akan panggil Menteri Agama untuk menjelaskan hal ini," ucap Fahira.

Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin merespons keresahan masyarakat tentang rencana sertifikasi pendakwah. Menurut dia, hal tersebut tidak terlepas dari persoalan politik pemilihan kepala daerah dan kondisi perekonomian dewasa ini.

"Era globalisasi dan era digital juga mempengaruhi informasi berseliweran seperti air bah. Persoalan kemasyarakatan akan sangat dinamis karena dapat diakses dengan cepat," katanya kepada Tempo di ruang seminar Perpustakaan IAIN Purwokerto, Jumat, 10 Februari 2017.

Persoalan khatib yang melakukan khotbah dengan syiar kebencian, kata Lukman, sudah ada sejak jauh sebelum dia menjabat sebagai Menteri Agama.

Maraknya hal tersebut, ada empat hal dari masyarakat yang diadukan kepadanya tentang khotbah yang meresahkan. Pertama, khotbah sering membahas persoalan khilafiah. Padahal, ujar Lukman, masjid merupakan tempat umum.

"Orang NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan lain-lain kan bebas mau salat di mana saja. Ini permasalahan di internal umat Islam," katanya.

Kedua, khotbah kerap menyalahkan agama lain. Ini sering terjadi di masjid perkampungan. Ketiga, pilkada membuat khatib cenderung berpihak kepada salah satu calon dengan isi khotbah yang penuh kepentingan. Sedangkan keempat, khotbah yang sering mempersoalkan Pancasila sebagai thogut.

"Kemenag sebagai representasi pemerintah tentunya ingin menempatkan agama pada posisi terhormat," katanya. ***