TANGERANG - Sidang kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap buruh perempuan, Eno Farihah (19), kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Rabu (1/2/2017).

Kasus ini sempat menyedot perhatian publik karena cara pelaku menghabisi korban yang sangat sadis, yakni dengan menusukkan gagang cangkul ke kemaluannya.

Agenda sidang kemarin adalah nota keberatan atau pledoi setelah pekan lalu keduanya dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum (JPU).

Kedua terdakwa, Rahmat Arifin (24) dan Imam Hapriyadi (24), di depan majelis hakim tetap bersikukuh tak terlibat kasus pembunuhan keji tersebut.

Saat tiba di PN Tangerang, kedua terdakwa yang mengenakan peci, celana panjang hitam, kemeja putih dan rompi tahanan itu terlihat sangat lesu.

Saat datang keduanya langsung didudukkan di ruang sidang. Kedua terdakwa duduk bersebelahan tanpa ekspresi sambil menunggu sidang dimulai.

Keduanya sama-sama menunduk lemas dan tak berbicara sepatah kata. Tangan mereka terborgol.

”Saya bukan pelaku sebenarnya,” terang Imam saat membacakan nota pembelaan di depan majelis hakim yang menyidangkan kasusnya.

Dikatakannya juga, dia datang ke kamar Eno hanya berniat hanya ingin menanyakan kabar korban.

Namun, dirinya tiba-tiba saja ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi yang mengusut kasus pembunuhan sadis tersebut.

Senada juga disampaikan Rahmat. Dia secara tegas juga mengaku tak terlibat kasus pembunuhan yang menggemparkan tersebut.

Dia mempertanyakan status ditetapkan tersangka oleh polisi lantaran hanya mengirim short messaga service (SMS) kepada korban.

Dalam pledoinya, Rahmat berharap agar majelis hakim berpikir ulang sebelum memberi putusan hukuman maksimal terhadap dirinya.

”Apakah SMS yang saya kirim ke dia (Eno, red) bisa membuat saya menjadi tersangka? Tolong tinjau kembali yang mulia hakim,” ucap Rahmat dengan pelan seperti diberitakan JPNN.com.

Dia mengaku, sempat diancam polisi untuk mengakui sebagai pelaku pembunuhan yang terjadi di kamar kos di Jalan Raya Prancis, Dadap, Kosambi, Tangerang.

Bahkan, Rahmat menyebutkan ada anggota polisi yang menodongkan senjata apinya saat memberi ancaman tersebut.

”Saat pemeriksaan berjalan saya diancam dengan senjata api. Saya yang jelas-jelas tidak bersalah terpaksa harus mengakui kesalahan yang tidak saya perbuat,” kata Rahmat juga.

Intimidasi yang dia terima membuat Imam tertekan. Rasa takut yang dialami terpaksa membuatnya mengaku terlibat dalam peristiwa pembunuhan itu.

Iman juga mengaku turut mendapat intimidasi dari polisi. Petugas memaksa agar dirinya mengakui sebagai pelaku.

”Mata saya ditutup dengan lakban. Kepala saya dipukul dan dipaksa makan puntung rokok. Akhirnya saya terpaksa mengaku,” ungkap Imam juga.

Sementara itu, Kasatreskrim Polres Metro Tangerang Kota, AKBP Arlon Simanjuntak ketika dihubungi INDOPOS enggan memberikan komentar yang lebih jauh terkait pengakuan kedua terdakwa kasus pembunuhan Eno Parliah tersebut.

Dia mengaku penyidik telah melakukan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku membongkar kasus pembunuhan sadis tersebut.

”Saya kan disini baru (bertugas, red). Tapi saya yakin penyidik sudah melaksanakan tugasnya sesuai dengan KUHAP. Tidak mungkin ceroboh menyelidiki suatu kasus. Polisi pasti menyampaikan dan memperlihatkan surat perintah penangkapan,” terangnya. (fer/dil/jpnn)