MEDAN - Kriminalisasi terhadap masyarakat adat kembali berulang di Tapanuli Utara. Hari ini dua masyarakat adat Oppu Bolus menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan pembakaran lahan milik Toba Pulp Lestari (PT TPL), di Polres Tapanuli Utara (Taput). "Ini merupakan panggilan kedua untuk pemeriksaan saksi atas nama SS (38) dan LS (23), di Polres Taput). Keduanya dilaporkan oleh JS, Humas PT TPL, dengan tuduhan pembakaran lahan yang diakui TPL sebagai bagian konsesi mereka pada Senin (3/10/2016) tahun lalu. Keduanya menjalani proses pemeriksaan diantar oleh puluhan masyarakat dengan pendampingan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu)," kata Rocky Pasaribu, tim advokasi KSPPM kepada GoSumut, Rabu (1/2/2017) di Medan.

Rocky menjelaskan, masyarakat adat Oppu Bolus adalah masyarakat adat yang bertempat tinggal di Sabungan Huta V, Kecamatan Sipahutar, serta wilayah adatnya berada di Huta Napa, Desa Sabungan Huta IV di mana wilayah adat seluas 2.500 Ha yang dikuasai oleh TPL melalui izin konsesi sejak tahun 1982.

Pada September 2016, 90 KK Masyarakat Adat Oppu Bolus berupaya memasuki dan melakukan reklaiming atas wilayah adatnya seluas 500 Ha. Masyarakat melakukan plangisasi pengakuan keberadaan mereka dan menanami areal tersebut dengan nenas serta pohon kemenyan. Tindakan inilah yang diduga membuat pihak TPL terusik.

"Tuduhan pembakaran lahan digunakan oleh TPL yang merasa terusik atas langkah reklaiming yang dilakukan masyarakat adat Oppu Bolus," jelas Rocky.

Sementara, Jespaer Simanjuntak, Ketua perjuangan masyarakat adat Oppu Bolus berharap pemerintah daerah selayaknya mendukung perjuangan masyarakat adat pomparan (keturunan) Oppu Bolus dengan mengakui dan melindungi keberadaan pihaknya.

"Kami berharap agar polisi jangan melakukan kriminasasi kepada kami masyarakat adat yang memperjuangkan hak adat kami yang turun temurun. Begitu juga pemerintah daerah diharapkan mendukung kami," harapnya.

Ia menambahkan, pihaknya sangat membutuhkan lahan tersebut sebagai penyokong urat nadi perekonomiannya.

"Kami sangat membutuhkan wilayah adat untuk dikembalikan kepada kami. Hanya dengan begitu, kami bisa memperbaiki perekonomian yang bisa mensejahterakan kami," tambahnya sembari mengatakan sudah terlalu lama tanah mereka dikuasai secara paksa oleh TPL tanpa sewa. Belum lagi ecalyptus yang ditanam TPL telah mempengaruhi produksi kemenyan.

Sebagaimana diketahui, kendati sudah ada putusan MK 35 / 2013 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara dan putusan MK 95/2016 yang menyatakan masyarakat adat yang menetap di kawasan hutan yang menguasai secara turun temurun tidak boleh dipidanakan. Akan tetapi hingga kini kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat di Sumatera Utara masih terus terjadi.