MEDAN - Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang baru, dimana sudah berlaku mulai hari ini, Senin (28/11/2016) lalu, pemerintah dianggap terbirit-birit mengejar perubahan zaman yang sangat cepat. Pasalnya, jika perubahan UU ITE akan membuat masyarakat bahkan pekerja Pers (Wartawan) akan banyak yang terjerat.

Hal itu diungkapkan pengamat hukum, Julheri Sinaga yang menilai dalam revisi UU ITE yang kurang sosialisasi akan membuat masyarakat bahkan wartawan yang identik kerja menggunakan media sosial.

"Kita tahu jika media sosial ini berkaitan erat dengan masyarakat dan wartawan. Jadi ini akan menjadi boomerang bagi wartawan jika sedikit saja memiliki kesalahan maka sangsi hukum yang akan diterima," ucap Julheri, saat dikonfirmasi GoSumut.com ( GoNews Group ), Rabu (30/11/2016).

Sambungnya, harus adanya sosialisai dan pihak lembaga masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang mengkaji ulang soal revisi UU ITE ini. "Kita minta lembaga- lembaga masyarakat kaji ulang revisi ini agar tidak merugikan masyarakat dan wartawan. Dimana revisi ini dianggap merampas kebebasan masyarakat," paparnya.

Dirinya juga menghimbau agar penyidik juga harus teliti menerapkan UU ITE tersebut. Jangan semena-mena yang bisa merugikan semua pihak. "Penyidik juga harus teliti dan cermat menerapkan UU ITE, harus lihat apakah masalahnya hanya untuk memberikan informasi atau sebagainya," pungkasnya.

Seperti diketahui, Ada empat perubahan dalam UU ITE yang baru. Pertama, adanya penambahan pasal hak untuk dilupakan, yakni pasal 26. Pasal itu menjelaskan seseorang boleh mengajukan penghapusan berita terkait dirinya pada masa lalu yang sudah selesai, namun diangkat kembali.

Salah satunya seorang tersangka yang terbukti tidak bersalah di pengadilan, maka dia berhak mengajukan ke pengadilan agar pemberitaan tersangka dirinya agar dihapus.

Kedua, yakni durasi hukuman penjara terkait pencemaran nama baik, penghinaan dan sebagainya dikurangi menjadi di bawah lima tahun.

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 21 KUHAP, tersangka selama masa penyidikan tak boleh ditahan karena hanya disangka melakukan tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya penjara di bawah lima tahun.

Ketiga, tafsir atas Pasal 5 terkait dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah di pengadilan. UU ITE yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dokumen elektronik yang diperoleh melalui penyadapan (intersepsi) tanpa seizin pengadilan tidak sah sebagai bukti.

Terakhir, yakni penambahan ayat baru dalam Pasal 40. Pada ayat tersebut, pemerintah berhak menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi yang melanggar undang-undang. Informasi yang dimaksud terkait pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya. ***