MEDAN -Sekretaris Umum Majelis Pimpinan Pusat Parsadaan Luat Pahae Indonesia (MPP-PLPI) Shohibul Anshor Siregar Msi menyesalkan sikap PT Sarulla Operation Limited (PT. SOL) dan pihak keamanan khususnya Kepolisian Resor (Polres) Tapanuli Utara (Taput) terkait insiden 15 Oktober 2016 lalu di Silangkitang.  Kekesalan itu diungkapkan Shohib di Medan, Jumat, (4/11/2016) sekembalinya ia dan rombongan dari pertemuan dengan para pihak di kantor PT SOL Silangkitang, Pahae, Tapanuli Utara, pada Rabu, 2 November 2016 lalu.

Didampingi oleh Bendahara Umum MPP - PLPI Huminsa Sitompul, Shohibul Anshor Siregar menjelaskan misinya di Silangkitang adalah untuk mendorong terbangunnya kespakatan perjanjian damai antara masyarakat secara keseluruhan dengan para pihak di industri geothermal terbesar di Indonesia itu.

Shohibul menyebutkan, dirinya tidak begitu optimis lagi harmoni dapat dibangun kembali di Silangkitang setelah berhari-hari bersama para Kepala Desa dan tokoh-tokoh masyarakat melakukan pembicaraan - pembicaraan guna mencapai kesepakatan damai pasca insiden 15 Oktober 2016 dengan manajemen PT Sarulla Operation Limited (SOL) dan salah satu kontraktor yang bekerja di sana, yakni PT Hunday. "Meski tidak 100 persen gagal, saya benar-benar sangat sedih upaya yang kami tempuh tak membuahkan hasil yang diharapkan," sebutnya.

Atas nama MPP-PLPI, lanjutnya, ia dan Huminsa Sitompul menyertai masyarakat lokal untuk menawarkan rekonsiliasi pasca insiden 15 Oktober 2016 yang menyebabkan penahanan terhadap 22 warga.

"Kami berharap insiden itu dilihat secara keseluruhan sehingga dengan mudah dapat membuka jalan terbaik untuk evaluasi  setiap pihak yang selanjutnya diharapkan mampu menumbuhkan semangat rekonsiliasi yang memperkuat basis moral dan kultural dalam relasi perusahaan multinational itu dengan masyarakat lokal," ujar Shohibul.

Dalam pandangan alumni Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini, sangatlah mudah memilihkan pasal-pasal pidana bagi ke 22 orang yang kini ditahan pasca insiden. "Tetapi pertanyaannya apakah dengan pemenjaraan para tersangka keamanan operasional perusahaan industri geothermal berkapasitas 350 MW energi listrik itu dapat langgeng ke depan?" Katanya dengan nada tanya.

Akademisi sosial politik dari Universitas Muhammadiyah (UMSU) ini menganggap mungkin ada saja orang yang berfikir sangat simplistis dan memilih membangun tembok dan kawat berduri hingga menyerupai benteng pertahanan agar dengan menihilkan relasi PT SOL dan rakyat yang dengan sendirinya potensi gangguan menjadi nihil pula. Itu teori yang salah, hanya kita temukan pada saat kompeni (Belanda) berkuasa.

"Dengan kerangka berfikir seperti itulah kami dari MPP - PLPI menawarkan lose-lose solution (solusi kalah-kalah) jika tak lagi mungkin meraih win-win solution (solusi menang-menang) berdasarkan UU No 7 Tahun 2012 dan PP No 2 Tahun 2015," ujarnya.

Sayangnya, Shohib melanjutkan, tawaran itu tidak cukup difahami, baik oleh pihak PT SOL dan rekanan di dalamnya. Maupun pihak keamanan dalam hal ini Polres Tapanuli Utara. Jika pun secara ekstrim menggunakan pasal-pasal pidana dan perdata, sebetulnya masyarakat lokal secara keseluruhan adalah korban sesungguhnya dikarenakan banyak faktor, di antaranya kesemberonoan pembuatan AMDAL, lemahnya sosialisasi dan pola-pola rekrutmen tenaga kerja yang mengundang kecemburuan sosial. "Bahkan sejak proses awal kehadiran perusahaan ini telah mengundang masalah ketika proses ganti rugi lahan warga berlangsung," sesalnya.

Informasi sebelumnya, tanggal 15 Oktober 2016 sekitar pukul 12.05 WIB telah terjadi sebuah insiden atau kekacauan di lokasi industri geothermal (panas bumi) PT SOL di Silangkitang, Kecamatan Pahae Jae, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Insiden itu diawali sebuah letupan keras yang diikuti oleh suara sangat bising mendesing yang disertai kepulan asap membubung tinggi ke udara. Mendadak-sontak 600-an warga berkerumun mendatangi  lokasi PT SOL. Dengan perasaan campur baur (antara takut, cemas dan ketidak-pastian keselamatan), warga tidak terkendali. Letupan dahsyat, desingan keras dan kepulan asap hitam yang terjadi di lokasi PT SOL itu memang terdengar dan terpantau dari jarak radius 3 sampai 5 kilometer.

Dua orang ibu yang sedang hamil mengalami keguguran dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Mereka adalah penduduk dusun Pakpahan, yakni Lasmaria Br Pakpahan (44 tahun), isteri dari Buala Pandapotan Antonius Purba, dan Marince Br Sinaga (37 Tahun), isteri dari Janto Sitompul.

Lima orang pekerja asing asal Korea yang bekerja pada salah satu kontraktor di bawah PT SOL mengalami luka-luka ringan. Mereka mendapat perlakuan buruk dari massa. Meskipun mereka sudah pulih setelah mendapat perobatan, namun mereka tak urung melaporkan kejadian itu kepada kedutaan besar Negara mereka di Jakarta.

Setelah insiden itu Polres Kabupaten Tapanuli Utara pun gencar melakukan penangkapan-penangkapan yang didasarkan pada data rekaman Circuit Close Telivision (CCTV) yang terpasang di kantor perusahaan geothermal terbesar di Indonesia itu.

Dari pemeriksaan intensif di Kepolisian, sebanyak 22 orang dinyatakan tersangka dengan tuduhan berlapis. Mereka disangkakan melakukan tindak pidana pencurian secara bersama-sama, perusakan secara bersama-sama dan penganiayaan secara bersama-sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 ayat (1) sub 170 sub 406 dan 351 ayat (1).

Tidak hanya itu, hingga hari ini sejumlah warga masih belum berani kembali pulang ke rumah karena merasa takut ditangkap oleh pihak Kepolisian menyusul rekan mereka yang sudah terlebih dahulu ditahan.

Atas desakan sejumlah warga sekitar PT SOL, Camat Kecamatan Pahae Jae telah mengundang manajemen PT SOL dan tokoh-tokoh masyarakat untuk bermusyawarah di kantor Camat Sarulla (Jumat tanggal 21 Oktober 2016). Muspika Kecamatan Pahae Jae, Para Kepala Desa, dan tokoh masyarakat, yang dilanjutkan dengan audiensi kepada Kapolres Kabupatan Tapanuli Utara di Tarutung, semua pihak telah bersepakat menyatakan bahwa insiden 15 Oktober 2015 di PT SOL adalah kejadian spontanitas.

Tidak ada niat (rencana) warga yang kini ditahan itu untuk melakukan penganiayaan. Begitu juga rencana atau permufakatan untuk melakukan pengrusakan, dan tidak ada niat permufakatan untuk melakukan tindak pidana pencurian. Disadari bahwa semua yang terjadi telah merobek harmoni.