JAKARTA - Reformasi Penegakan Hukum yang saat ini sedang bergulir sebagai wujud komitmen Presiden Jokowi menghadirkan negara di tengah kehidupan rakyat,  harus bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di seluruh pelosok tanah air termasuk warga Pulau Batam.

Bahkan masyarakat kecil yang selama ini sering menjadi korban ketidakadilan, korban kesewenang-wenangan pejabat atas nama negara sering kehilangan haknya untuk mendapatkan pelayanan keadilan dan tidak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh haknya atas keadilan sosial dari negara, selama ini menjadi warga yang diam dan membisu, namun saat ini mereka sedang siap antri untuk menuntut pertanggungjawaban negara sebagai reaksi postif terhadap kebijakan Negara melalui Presiden Jokowi  mewujudkan tanggung jawabnya dengan sikap mengembalikan, memulihkan dan mengganti rugi semua hak yang sempat hilang selama puluhan tahun sejak 0rde Baru hingga selama Orde Reformasi bergulir.

Banyak fakta telah terungkap di Pulau Batam, dimana negara hadir, tetapi kehadiran negara bukannya memberikan kesejahteraan bagi rakyat kecil, tetapi  justru menggusur hak-hak rakyat kecil di pelosok tanah air, semata-mata demi memberi kesempatan kepada para konglomerat atas nama pembangunan untuk membangun raksasa bisnisnya.

Yang menjadi korban bukan hanya Masyarakat Pulau Batam, tetapi Pengusaha-Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha & Profesi turut  menjadi korban akibat negara salah urus. Negara hadir dengan berbagai bentuk dan kebijakan, akan tetapi bukan untuk rakyat yang adalah warga masyarakat Pulau Batam.

Kehadiran negara di Pulau Batam  telah menggusur hak-hak rakyat pemilik tanah dan atas nama negara pula tanah rakyat diambil tanpa ganti rugi, tanpa proses hukum dan hanya atas dasar kekuasaan belaka melalui BADAN OTORITA BATAM, dengan kekuasaan yang absolut menegasikan kekuasaan Pemerintah Daerah setempat.

Saat ini mulai muncul reaksi ketidakpuasan secara terbuka, bukan saja dari rakyat kecil pemilik lahan yang menjadi korban akan tetapi para pengusaha lokal-pun sudah tidak kuat lagi menghadapi ketidakpastian kebijakan pembangunan dan tanggung jawab atas pengelolaan lahan di Pulau Batam yang tidak menentu. Di Pulau Batam seolah-olah ada negara dalam negara ada dualisme kepemimpinan, sehingga Pemerintah Daerah  Kepulauan Riau seolah-olah menjadi anak tiri di dalam struktur kelembagaan negara, sebagai akibat dominasi BADAN OTORITA BATAM sangat besar.

Saat ini tidak kurang dari ASOSIASI PENGUSAHA DAN PROFESI di Pulau Batam telah menyatakan sikap keprihatinan secara terbuka di media lokal Batam,  soal ketidakpastian hukum dan uasaha khususnya di bidang pertanahan yang selama berpuluh-puluh tahun tidak mendapatkan perbaikan dan pembenahan. Ini akan menjadi Bom Waktu bagi Negara di Pulau Batam, jika tidak diselesaikan dengan melibatkan trio pemangku kepentingan di Pulau Batam dalam kesetaraan yaitu unsur Masyarakat, unsur Pengusaha dan unsur Badan Pengusahaan Kawasan Batam dimediasi oleh Pemerintah Provinsi Kepri  diberikan kepercayaan bertindak mewakili negara atau atas nama negara menjadi Mediator sekaligus secara bertahap mengembalikan peran sesungghnya dari Pemerintah Daerah di Pulau Batam.

Banyak sudah rakyat kecil pemilik lahan di Pulau Batam menjadi korban kebijakan yang keliru atau korban salah urus oleh negara melalui kekuasaan yang berlebihan di bawah payung BADAN OTORITA BATAM. Berbagai kebijakan yang susul menyusul berganti, baik  pengorganisasian maupun regulasi mulai dari Undang-Undang sampai kepada Peraturan Daerah, belum memperlihatkan tanda-tanda untuk memulihkan hak-hak dasar masyarakat kecil pemilik lahan di Pulau Batam. Negara seolah-olah menganggap Pulau Batam sebagai lahan kososng tidak bertuan dan sekonyong-konyong datang BADAN OTORITA BATAM dengan kekuasaan yang berlebihan telah menggeser peran Pemerintah Daerah untuk mensejahterakan rakyat di Pulau Batam.

Pada saat ini Pemerintah sudah merombak struktur "Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam" yang langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat sehingga dengan perubahan struktur BP Batam diharapkan dapat memulihkan tidak saja kepada hak para pengusaha akan tetapi juga hak masyarakat atas keadilan sosoial  untuk tetap menjadi tuan rumah di Pulau Batam. Selama ini kebijakan penguasaan dan pengelolaan tanah di Pulau Batam di bawah payung BADAN OTORITA BATAM, telah membawa kerugian yang tak terkirakan bagi warga masyarakat Pulau Batan yang secara turun temurun menguasai tanah di Pulau Batam.

Karena itu dalam rangka kebijakan Presiden Jokowi mereformasi Penegakan Hukum, termasuk saat ini merombak struktur Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam/BP. Batam, maka tiga unsur penting sebagai kekuatan utama untuk membangun kembali Batam, yaitu Pemerintah Daerah, Masyarakat Pulau Batam dan Para Pengusaha di Pulau Batam sebagai pemangku kepentingan di Pulau Batam harus diberikan tempat secara proporsional untuk bersama-sama memperbaiki kondisi Pulau Batam yang sudah keluar dari cita-cita dasar yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial melalui pembangunan di Pulau Batam.

"Sudah satnya Presiden Jokowi, mewujudkan Pulau Batam sesuai dengan cita-cita dasar yaitu menjadikan Pulau Batam sebagai "Kota Metropolis Dunia". Kota Batam yang semula dibangun di bawah bendera BADAN OTORITA BATAM, harus dinyatakan gagal, karena tidak berhasil membangun sebuah Kota Metropolis yang setara dengan Singapura atau Kota Metropolis dunia lainnya, malah semakin kumuh, melahirkan kemiskinan baru, merusak tatanan hukum terutama hukum pertanahan,  tidak adanya kepastian hukum soal hak-hak atas tanah dengan segala dampak yang ditimbulkannya," ungkap Koordinator TPDI dan Advokat Peradi Petrus Selestinus kepada GoNews.co melalui pres releasenya, Kamis (13/10/2016).

Hak-hak atas tanah bagi masyarakat warga Pulau Batam kata dia, yang selama ini diambil begitu saja oleh negara atas nama BADAN OTORITA BATAM,  kemudian diperjualbelikan kepada para Konglomerat tanpa warga masyarakat Pulau Batam mendapatkan ganti rugi atau ikut menikmati untuk merubah nasib dan masa depannya, akan menjadi bibit konflik di masa yang akan datang.

"Kondisi demikian akan memunculkan berbagai gugatan dari masyarakat dengan masa persengketaan yang berkepanjangan sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakpastian usaha bagi para investor yang ingjn berinvestasi di Pulau Batam. Harga-harga tanah menjadi tidak pasti, karena proses pengambialihan hak-hak atas tanah milik warga masyarakat dilakukan dengan pendekatan kekuasaan semata-mata, dengan memanfatkan kebodohan, keluguhan dan ketidakberdayaan masyarakat menghadapi kekuasaan BADAN OTORITA BATAM dengan payung KEPRES/INPRES di masa Orde Baru, sehingga membuat masyarakat  pemilik lahan menyerah begitu saja terhadap kesewenang-wenangan BADAN OTORITA PULA BATAM," pungkasnya. ***