JAKARTA - Ternyata ada sosok di balik kesuksesan atlet dayung Dewi Yuliawati yang tampil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 dan meraih emas PON XIX Jawa Barat 2016. Dia adalah Qurrotul Ayun. Wanita lajang kelahiran Karanganyar Solo, Jawa Tengah, 3 April 1969 bersama rekan-rekannya menemukan dan melatih Dewi Yuliawati yang berasal dari keluarga kurang mampu hingga sukses menembus jajaran atlet elit nasional. Di Bahtera Jaya Ancol, Jakarta, milik Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) DKI Jakarta itu, Ayun membina Dewi yang saat itu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Setiap hari, Ayun bersama E. Suhaety, Hasna, Dimas Surya, Janata, Decky Sumampow, dan Abdul Azi melatih mereka mulai pukul 05.00 WIB sampai 06.00 WIB dan pukul 15.30 WIB hingga 17.30 WIB.

"Dewi bisa sukses karena termotivasi ingin memperbaiki kondisi keluarganya. Dewi rajin berlatih dan memiliki kemauan keras untuk meraih prestasi di cabang olahraga dayung dengan tujuan kelak dirinya bisa membantu kehidupan orang tuanya yang serba kekurangan. Kini, Dewi yang sudah saya anggap sebagai anak sendiri telah menggapai impiannya dan menikmati hasil kerja kerasnya selama ini," kata Ayun.

https://www.gonews.co/assets/imgbank/22092016/gonewsco_pakra_21.jpg

Dewi bukan satu-satunya anak dari keluarga kurang mampu yang dibina di Bahtera Jaya Ancol. Tadinya, ada puluhan anak dari keluarga kurang mampu yang dikumpulkan melalui seleksi dari Sekolah Dasar Negeri di wilayah DKI Jakarta dilatih olahraga dayung.

"Tidak seperti cabang olahraga lain, mencari atlet dayung itu sangat sulit. Jadi, kita mencarinya dengan mengundang murid-murid dari SD Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) yang berada di Jakarta untuk datang dan berlatih dayung. Tadinya, di Bahtera Jaya Ancol sempat tercatat 65 anak-anak dari keluarga kurang mampu yang rutin menjalani latihan. Kini, jumlahnya sekitar 15 anak yang terus menjalani latihan," katanya.

Untuk menjaga agar anak-anak tersebut agar terus menjalani latihan, kata Ayun, pihaknya memberikan fasilitas dengan memperbolehkan mereka menginap di mess atlet dan menyediakan mereka makanan. "Soal makanan mereka, kami tidak pernah khawatir karena ada dana yang disubsidi pak Wibiwo Suseno Wirjawan (Ketua Pengprov Podsi DKI Jakarta) dan pedayung-pedayung senior," katanya.

Berbagai usaha dilakukan Ayun dan kawan-kawan untuk membuat anak didiknya betah dan giat menjalani latihan. Salah satu program andalan mereka adalah menciptakan lingkungan bersosialisi seperti keluarga dengan metode love and care (perhatian dan kasih sayang). Dengan demikian, hubungan pelatih dan atlet seperti layaknya hubungan orang tua dan anak. "Mereka diberikan kebebasan berpendapat sehingga kami bisa mengetahui apa yang mereka inginkan dan mereka pun tau apa yang kami inginkan," katanya.

Dalam menjalankan program latihan, kata Ayun, timnya yang menangani Pelatda dayung DKI Jakarta menerapkan program Satlak Prima. "Saya selalu berkonsultasi dengan Satlak Prima untuk penerapan program Strength and Conditioning dan Recovery," akunya.

Kecintaan Ayun terhadap olahraga dayung tidak perlu diragukan. Pegawai Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) ini pernah menjadi atlet dayung. Memang, Ayun tidak pernah menembus jajaran atlet dayung nasional. Namun, dia tetap mengabdikan dirinya untuk mengangkat prestasi dayung Indonesia. "Saya sempat menjadi atlet dayung. Makanya, saya sangat mencintai olahraga dayung dan ingin terus mengabdi untuk kemajuan dayung Indonesia," katanya.

Kini, kerja keras Ayun dan kawan-kawan telah membuahkan hasil. Kini, Dewi Yuliawati berhasil menembus jajaran atlet elit nasional. Dewi tercatat sebagai anggota Kontingen Indonesia yang tampil pada Olimpiade Rio de Janeiro 2016 dan sukses menyumbangkan 1 medali emas bagi kontingen DKI Jakarta pada PON XIX Jawa Barat 2016.

"Ada kepuasan tersendiri dalam benak saya ketika melihat Dewi sukses. Bagi saya, kepuasan itu tak ternilai harganya. Dan, saya akan terus berusaha untuk membuat Dewi-dewi yang lain," kata Ayun.

Dewi Yuliawati, Perjalanan Panjang Dihiasi Air Mata

Tak banyak yang tau kehidupan awal pedayung putri Dewi Yuliawati. Tadinya, namanya tak terdengar sama sekali di dunia olahraga. Begitu sukses menembus jajaran elit atlet nasional dengan tampil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 dan sukses meraih emas pada PON XIX Jawa Barat 2016, nama Dewi Yuliawati semakin populer.

Kini, Dewi bukan hanya mampu mengangkat kehidupan keluarganya tetapi dia mampu mewujudkan impiannya membiayai kedua orang tuanya Carsa dan Carkem menunaikan ibadah haji lewat bonus yang dijanjikan Pemda DKI Jakarta terhadap atlet peraih emas di PON XIX Jawa Barat 2016.

Sebelum sukses, ternyata gadis hitam manis kelahiran Tangerang, 2 Juni 1997 ini menempuh perjalanan yang penuh dihiasi air mata.

Datang dari keluarga kurang mampu, Dewi tinggal bersama kedua orang tua dan 9 saudaranya di gubuk ukuran 3X3 yang terletak di Muara Angke, Jakarta Utara. Ayahnya hanya bekerja sebagai petani di Indramayu, Jawa Barat.

https://www.gonews.co/assets/imgbank/22092016/gonewsco_myzqj_20.jpg

Dewi berkenalan dengan olahraga dayung saat duduk di bangku kelas 1 SMP N 261 Jakarta Utara. Dia diajak pelajar jebolan sekolahnya untuk berlatih di Pusat Pembinaan Latihan Pelajar Daerah (PPLPD) DKI Jakarta.

Dari situlah Dewi menyenangi olahraga yang bisa membuat badan lebih bugar. "Sehat itu kan mahal. Jadi, saya senang dengan olahraga dayung," katanya.

Awalnya, Dewi sempat dilarang kedua orang tua karena takut anaknya tenggelam saat latihannya di laut. "Bapak dan Emak melarang saya latihan dayung karena tau saya tidak bisa berenang. Mereka takut saya tenggelam di laut," cerita Dewi.

Meaki dilarang kedua orang tua, Dewi tetap nekad terus menjalani latihan dayung. Setiap hari dia naik angkutan umum dari Muara Angkr ke Ancol untuk menjalani program latihan.

Tadinya, Dewi mengaku sempat disuruh ibunya berhenti latihan dan menjadi tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri karena kondisi ekonomi keluarganya semakin buruk. Tetapi, dia tetap bersikeras untuk sekolah.

"Saya rayu-rayu ibu agar diberikan kesempatan menamatkan SMP dan diizinkan. Perasaan saya lega saat itu karena keinginan saya dikabulkan," katanya. Ternyata untuk tetap sekolah banyak tantangan yang harus dihadapi Dewi apalagi kondisi ekonomi keluarganya semakin buruk. Keadaan semakin parah, cerita Dewi, tatkala bapaknya yang jadi tulang punggung keluarga jatuh sakit dan emak juga jatuh sakit.

Melihat keadaan itu, Dewi kebingungan apalagi tau kedua orang tuanya memiliki hutang dimana-mana. "Saat itulah, saya menangis karena kebingungan dengan dari mana menutupi biaya sekolah dan ongkos ke tempat latihan. Saat itu, saya langsung membulatkan tekad untuk bisa melanjutkan sekolah dan latihan dayung agar saya dan keluarga bisa terbebas dari kemiskinan," ujarnya.

Soal biaya sekolah, Dewi mencoba memberanikan diri bercerita dengan salah seorang guru. Hasinya di luar dugaan, Dewi mendapatkan solusinya. "Alhamdulilah, guru tersebut bisa mengusahakan beasiswa buat saya dengan catatan saya harus giat berlatih dayung agar bisa berprestasi. Beliau juga banyak bercerita tentang keberhasilan para atlet senior dayung yang mendapat bonus ratusan juta dan diberikan pekerjaan oleh pemerintah. Apalagi, beliau juga menjamin jika berprestasi di dayung tidak perlu memikirkan lagi biaya sekolah," ujarnya.

Untuk mencari biaya ongkos ke tempat latihan, Dewi diam-diam bekerja mengupas kijing (kerang hijau). "Rumah saya kan di Muara Angke, jadi saya cari uang dulu dengan mengupasin kijing setelah pulang dari sekolah. Begitu dapat Rp5 ribu, saya pakai buat ongkos ke tempat latihan. Soal ongkos pulang, saya tidak mikir. Yang penting berangkat dulu, pulangnya mah mau BM (bonceng mobil) atau saya minta bayarin. Pokoknya, saya tidak mikir yang penting sampai dulu ke tempat latihan," ujarnya.

Pengakuan Dewi ini dibenarkan pelatihnya Qurrotul Ayun yang akrab dipanggil anak didinya bu Ayun. Bahkan, Ayun juga telah mengunjungi rumah gubuk Dewi berukuran 3x3 meter di Muara Angke.

"Ya, saya masih ingat pertama kali Dewi ke tempat latihan datang dengan baju kumal dan sendal jepit. Dan, saya juga melihat dia dan teman-temannya suka numpang truk yang kebetulan pangkalannya dekat tempat latihan untuk ke depan," ujar Ayun.

Tidak gampang memang menjadi atlet. Dewi harus berjuang keras dan tak jarang dia sampai menangis-nangis saat latihan ditangani Ayun yang sudah dianggap orang tuanya.

"Dulu waktu di PPLPD, saya latihan diikuti dengan speed boat yang dikendarai bu Ayun. Kalau perahu saya tidak laju sesuai tarikan, beliau langsung mendekat dan mau menabraknya. Saat itu, saya sangat ketakutan dan langsung mengayuh dayung kencang sembari menangis-nangis," kenangnya.

Tetesan air mata juga mengalir dipipinya Dewi tatkala Dewi ditegur karena telat latihan. Begitu juga aaat Dewi dinyatakan tidak lulus dalam seleksi PPLPD dan harus mengulang empat kali mendayung perahu untuk mencapai waktu yang ditentukan. "Saya masih bisa membayangkan air mata Dewi membasahi pipinya karena saya perintahkan mengulang empat kali mendayuh perahu," ujar Ayun.

Belakangan Dewi telah menyadari pendidikan keras yang diterapkan Ayun ternyata demi kebaikan dirinya. Makanya, dia tidak bisa melupakan jasa Uyun yang telah menjadikannya atlet nasional.

"Tindakan keras dan penanaman disiplin itu adalah pelajaran yang sangat berharga. Tidak boleh malas dan bisa melawan diri sendiri adalah kuncinya," jelasnya.

Perjuangan panjang dengan hiasan air mata itu telah berbuah hasil. Dewi bukan hanya bisa menjalani pendidikan tetapi sukses di dunia olahraga. Kini, dia telah tercatat sebagai mahasiswa semester 4 jurusan PGSD di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan menembus jajaran atlet elit nasional.

Tidak tanggung-tanggung, Dewi yang masuk program pembinaan Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) bersama La Memo tampil memperkuat kontingen Indonesia pada Olimpiade Rio de Janeiro 2016.

Tidak gampang meraih tiket ke pesta akbar olahraga empat tahun dunia. Dewi harus berjuang menembus ketiga nomor Single Sculls (W1X) Kejuaraan Dayung Asia-Oceania 2015 yang juga babak kualifikasi Olimpiade di Chung-Ju, Korea Selatan.

Dewi tercatat menjadi pedayung putri kedua yang tampil di Olimpiade. Pedayung putri pertama Indonesia yang lolos ke Olimpiade ialah Perte Caroba dari Papua pada Olimpiade Athena 2004. "Bapak dan Emak bangga dan terharu waktu saya bisa tampil di Olimpiade," katanya.

Melalui olahraga, Dewi yang meraih emas PON Jawa Barat 2016 telah berhasil mengangkat kehidupan keluarganya. "Alhamdullilah, saya sudah bisa membeli sawah dan membangun rumah yang layak tinggal di kampung. Kini, saya tak perlu lagi jadi TKW untuk ke luar negeri. Jadi, olahragawati saja saya bisa keliling dunia," katanya. ***