MUNICH - Xabi Alonso mengenang masa-masanya bersama Liverpool. Masa-masa yang menyenangkan, katanya. Yang kurang cuma satu: Gelar juara Premier League. Alonso menceritakan semuanya dalam sebuah wawancara dengan The Guardian. Ia mengungkapkan, sebelum akhirnya bergabung dengan Liverpool, bahwa Real Madrid sudah menaruh ketertarikan pada dirinya selama beberapa bulan. Ia bisa saja pindah ke Madrid waktu itu.

Namun, Madrid terlalu lama bernegosiasi dan tidak memberikan tawaran serius. Ketika itulah Liverpool datang. Alonso melihat Liverpool amat serius dan tidak terlalu bertele-tele melakukan negosiasi. Ditambah status mereka sebagai salah satu klub besar Eropa, jadilah Alonso mengiyakan tawaran dari Liverpool.

Alonso datang di awal musim 2004/2005, musim yang kemudian akan dikenang sebagai salah satu musim terbaik oleh para pendukung Liverpool. Kala itu, Alonso baru berusia 23 tahun. Sebagai pemain muda, ia banyak belajar dari sosok-sosok yang lebih senior atau lebih lama di klub seperti Jamie Carragher, Steven Gerrard, Sami Hyypia, dan Dietmar Hamann.

Kata Alonso, keempatnya adalah tulang punggung Liverpool kala itu. Sosok-sosok penting. Jika salah satu dari keempatnya berbicara, pemain lain akan mendengarkan. Kendati begitu, ada pemain-pemain lainnya di skuat Liverpool ketika itu juga sama pentingnya.

"Ini adalah masa-masa yang paling menyenangkan di Liverpool: Pepe (Reina) memberikan bola kepada (Daniel) Agger, Agger kepada saya, saya lalu memberikan bola kepada Stevie, dan Stevie memberikannya kepada (Fernando) Torres. Terkadang operan kami hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 detik," ucap Alonso.

"Tim itu memiliki tulang punggung terbaik yang pernah saya bermain di dalamnya. Jangan lupakan juga Carra dan (Javier) Mascherano di dalamnya --dua-duanya pemain top. Kami punya skill, mental baja, dan kecepatan; amat kompetitif, sangat intens. Penuh determinasi dan komitmen."

Dengan skuat inilah Liverpool nyaris menjadi juara Premier League di musim 2008/2009. Mereka tampil apik musim itu, namun pada akhirnya finis di posisi kedua dengan jarak empat poin dari rival abadi mereka, Manchester United, yang keluar sebagai juara.

Setelah musim itu selesai, Alonso tak lagi jadi pemain Liverpool. Ia akhirnya pindah ke Madrid, yang sudah sejak lama mengincarnya. Pada akhirnya ia berkesimpulan: Memang begitulah sepakbola, tidak selamanya lempang-lempang saja.

"Kami merasa bahwa tim kami bisa memenangi segalanya. Kami meraih beberapa hasil imbang tidak penting di kandang dan oleh karenanya, kami gagal menjadi juara. Padahal, kami selalu punya keyakinan itu (kami bisa menjadi juara, red)."

"Tidak ada yang kami takuti. Kami datang ke Bernabeu dan menang. Kami datang ke Old Trafford dan menang. Kami datang ke Stamford Bridge dan menang: Laga-laga besar, laga-laga penting, yang bisa menentukan musim. Ini benar-benar bikin saya frustrasi."

"Di tahun 2005, kami menjuarai Liga Champions dengan tim yang relatif biasa-biasa saja. Di 2007, kami kalah di final Liga Champions dengan tim yang lebih baik dan performa yang lebih meyakinkan. Di 2009, kami memainkan sepakbola terbaik dan menelan kekalahan paling sedikit, tetapi tetap saja gagal jadi juara."

"Saya kira, inilah indahnya sepakbola. Tidak pernah selamanya lurus," kata Alonso.