JAKARTA - Pakar ekonomi-politik Ichsanuddin Noorsy mengungkapkan, tumpang-tindihnya surat keputusan pengelolaan lahan atau kawasan dari pemerintah merupakan pemicu konflik sosial di sejumlah daerah di Indonesia.

Di Kalimantan Timur (Kaltim), misalnya, kata Ichsanuddin, tanah penambangan batu bara milik satu perusahaan bisa konflik dengan perusahaan lain atau dengan masyarakat lokal.

Konflik, menurut dia, juga bisa disebabkan oleh penerbitan sertifikat HGB (hak guna bangunan), HGU (hak guna usaha), dan HM (hak milik) oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional), dengan berbagai kelemahannya.

''Di Jakarta sendiri, konflik pertanahan karena tumpang tindih sertifikat juga terjadi,'' ujar Noorsy kepada wartawan, Rabu (21/3).

Penyebab konfliknya sama, yakni BPN yang menerbitkan sertifikat. Padahal, di dalam sertifikat, ada dua unsur penting. Yaitu, riwayat tanah (asal mula kepemilikan) dan gambar situasi yang menyatakan posisi dan luas tanah.

Menurut dia, baik riwayat tanah maupun luas dan posisinya, acap kali bermasalah. Untuk itu, sebelum terbit sertifikat, dibutuhkan tiga bulan pengumuman ke masyarakat.

Sayangnya, pengumuman ini juga bisa sembunyi. Kasus-kasus tanah di Jakarta Timur dan Bekasi memberi petunjuk, tidak mudah menerbitkan sertifikat. ''Berbagai kepentingan terlibat di dalamnya,'' ujarnya.

Saat Amien Rais mengatakan Jokowi ngibul, menurut Noorsy, itu karena mustahil menerbitkan sertifikat tanah dalam waktu kilat.

Kasus terbitnya SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) 3,2 juta hektare itu yang membuat kepastian hukum akan sertifikat tanah ditentukan oleh penguasa, bukan hukum yang menjamin kepastian sehingga menumbuhkan rasa keadilan.

''Jadi, konflik Amien-Luhut adalah konflik tentang rasa keadilan, konflik tentang kepastian hukum yang direpresentasikan melalui kebijakan bagi-bagi sertifikat,'' kata Noorsy menegaskan.

Doktor ekonomi Universitas Airlangga ini memandang tudingan ngibul itu bermakna sebagai gambaran rendahnya kepastian hukum. Ini berarti juga buruknya rasa keadilan masyarakat.

Maka, moralitas pemerintahan seharusnya mengkaji kebijakan secara menyeluruh.

Analisis spekukatif tudingan ini, menurut dia, akan menemukan kebenarannya jika moralitas pemerintahan larut dalam pembenaran dan pembelaan kekuasaan.

Padahal, pembenaran dan pembelaan ini pun dilatarbelakangi tidak kompetennya pemerintah menjalankan mandat konstitusi.

''Itulah hakikat sertifikat. Ia menyangkut hak yang menuntut tingginya bobot kebenaran. Jadi, tidak perlu ancaman. Tidak perlu juga somasi. Pakailah cermin yang jernih sehingga kedalaman moralitas terlihat dengan baik dan benar,'' ujarnya.***