JAKARTA - Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) menerapkan tiga aturan baru dalam bulu tangkis. Ketiga aturan baru itu adalah: pertama, mengenai keharusan pemain elite bertanding minimal 12 turnamen dalam setahun. Kedua, perubahan batas tinggi servis, dari tinggi rusuk terbawah tiap pemain menjadi 115 cm dari permukaan lapangan.

Ketiga, kemungkinan perubahan sistem skor pertandingan dari rally point 21 menjadi skor 11 poin dengan lima gim.

Dikutip dari republika.co.id, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI Susi Susanti menilai tiga aturan baru dari BWF itu memberatkan pemain. Sebagai langkah nyata, Susy menuturkan, PBSI akan mengirim surat serta berdiskusi dengan pihak-pihak terkait, diawali berkoordinasi dengan Konfederasi Bulutangkis Asia (BAC).

''Akan ada pertemuan dengan BAC bulan depan, kami akan diskusikan dengan negara lain, karena beberapa negara memang keberatan juga, bukan cuma Indonesia,'' kata Susi melalui siaran pers yang diterima Republika, Jumat (24/2). 

Susi mengatakan Indonesia akan lebih aktif pada pertemuan dengan BAC. Sebab, dia menerangkan, banyak aturan yang diterapkan secara mendadak dan tidak ada pihak yang bisa menjelaskan secara detail tujuan aturan-aturan baru tersebut. 

''Mungkin saja akan ada pemungutan suara, saya harus cek lagi dengan tim hubungan internasional soal ini. Indonesia adalah salah satu negara yang dipandang di bulutangkis, seperti Cina, Korea, Denmark, Malaysia yang punya suara cukup kuat untuk memberikan masukan,'' kata Susi.

Susi mencontohkan aturan yang terlalu mendadak ini misalnya batasan tinggi servis akan mulai diterapkan pada All England 2018 BWF World Tour Super 1000 yang digelar 14 sampai 18 Maret mendatang. Indonesia akan mempertanyakan dan meminta penjelasan mengenai aturan batas servis ini pada pertemuan manajer tim-tim yang berlaga pada All England.

Susi mengatakan Indonesia berusaha menanggapi positif dan menyesuaikan diri dengan aturan baru. Namun, aturan ini dapat merugikan pemain. 

“Ada yang dirugikan ada yang diuntungkan. Kalau yang kurang tinggi diuntungkan, yang tinggi agak sedikit dirugikan. Plus minus untuk semua,” kata dia. 

Selain waktu yang sangat sempit untuk beradaptasi, aturan ini akan mengubah kebiasaan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Aturan ini memaksa pemain mengukur seberapat tinggi dia bisa melakukan servis. 

Susy mengatakan persoalan ukuran ini akan menjadi kelemahan. “Berapa jarak pasti antara hakim servis dengan alat pengukur, karena ini mempengaruhi sudut pandang, mempengaruhi servis atlet fault atau tidak. Kalau hakim servis matanya minus atau plus juga mempengaruhi, tentunya kami tidak mau atlet kami dirugikan,” kata Susi.  ***