Maka Aisya pun melangkah untuk pulang. Sementara Syarief, ia masuk ke
rumahnya dan memasangkan tas di punggungnya siap untuk pergi, lalu ia
bersalaman dengan Ummi dan keluar dari rumahnya, tiba-tiba Rival
pulang bersama kereta motor pelanggan di tempat ia bekerja.


“Kapan kamu ke pesantren?” tanya Syarief.


“Insya Allah, Muharram nanti!” jawab Rival sambil turun dari keretanya
dan berdiri di depan Syarief. Ia kembali mengingat kisah lalu bersama
Syarief, ketika mereka masih duduk di pangku Sekolah Dasar.

Dulu mereka mempunyai wajah yang mirip, dengan tubuh sama-sama kurus,
setiap sore mereka selalu bermain di sawah, dengan mengenakan celana
pendek, baju yang lumayan tua, bersama kail di tangan mereka, tugas
mereka memancing, bahkan kadang-kadang mereka menangkap belalang yang
berdiri di dahan rumput ilalang, sambil mereka menunggu ikan memakan
umpan yang mereka berikan, Rival bertanya

“Cita-cita kakak apa?” Tanya Rival serius sambil menoleh ke arah
kakaknya yang duduk di sampingnya

“Belum tau, kamu?” Tanya Syarief

“Saya mau jadi polisi, kak.”

Mendengar kata-kata Rival, Syarief memandang tubuh Rival, yang kurus
krempeng, kemudian ia tertawa berbahak-bahak

“Mana ada polisi kurus kek gini?” kata Syarief dalam ketawa yang
berbahak-bahak. Rival merasa marah sehingga ia menolak Syarief sampai
terjatuh dalam sawah, maka mereka pun bercanda sambil mereka saling
melemparkan air.

Namun setelah mereka tamat dari Sekolah Dasar, Syarief berangkat dan
melanjutkan belajarnya di pesantren, semantara Rival tinggal di desa.
Sehingga setiap sore Rival selalu bermain di sawah sendirian,
memancing sendirian tanpa Syarief lagi, itu yang membuat ia rindu,
bahkan kadang-kadang ia meneteskan air matanya, seakan-akan ia ingin
berlari, dan ingin mendekapinya dengan girang.

***

Bagi Rival, sejarah itu kembali terulang. Maka Rival pun memeluk
Syarief dengan sedih.

“Selamat berjuang kak!”

“Ia, Rival juga, semoga Rival jadi Ustaz!”

“Oia Titip salam buat Aisya ya!” lanjut Syarief sambil melepaskan
pelukan itu, dan
kembali berjalan.

Dalam perjalanan menuju jalan Raya, Syarief melihat anak-anaknya
bersama Aisya, yang sedang belajar, sehingga anak-anak bangun, dan
melihat Syarief yang berada di jalan, mereka saling memberi tahu,
“Lihatlah itu Ustaz Syarief!”
Bahkan ada juga yang berani memanggilnya “Ustaz…”

Syarief melihat anak-anaknya hanya tersenyum sedih, sambil meluruskan
niatnya, bersama cita-citanya, yaitu kembali lagi ke sini untuk
mencari cinta Aisya yang telah hilang, dan semoga Aisya masuk ke
pesantren, sesuai dengan Do’anya selama ini.

Sementara Aisya yang menyaksikan kepergian Syarief, ia mulai merasakan
kehilangan, walau baginya kini, Syarief tak lagi bermakna, karena ia
tidak lagi mencintainya, dan ia pun sudah betah tinggal di desa ini,
walau Syarief tiada di sisinya.