Di malam selanjutnya, yaitu malam perpisahan libur menyambut bulan Ramadhan, para santri terlihat bahagia, mereka semua berkumpul di musala pesantren dari sekian banyak kelas, baik yang Tajhizi atau kelas yang sudah belajar Bajuri, bahkan Ia’annatuth Thalibin, yang laki-laki duduk di bagian depan musala, dan yang perempuan bagian belakang musala.

Acara pun dimulai dengan pembukaan, dilanjutkan baca Al-Qur’an, Shalawat, hingga tiba di acara ceramah singkat yaitu, Syarief. Protokol pun mempersilahkan Syarief ke mimbar. Syarief yang sedang duduk bersama Ustaz Hasan dan Ustaz lainnya, ia pun bangun dan menuju ke mimbar dengan hati bergetar, karena baru pertama kali ia berpidato, biasanya ia menjadi MC, bahkan orang mengenalnya sebagai MC Bahasa Arab, baik di sekolahnya atau pun di desanya. Maka Syarief berdiri di mimbar dan memulainya dengan

“Assalamualaikum Wr.wb!

Wa’alaikum salam Wr.wb!” jawab hadirin

Syarief mulai berpidato, di mulai dengan Hamdallah, Syukran Lillah, Shalawat, dan penghormatan sebagaimana layaknya sebuah pidato.

Sedang asik ia berceramah dengan fokus dan matanya tertuju kepada seluruh santri dan santriwan yang duduk di depannya, tidak terkecuali Aisya, ia juga melihat Aisya yang duduk di sudut musala bagian belakang yang mengenakan hijab hitam, gamis kuning, sarung hitam berbunga merah, Aisya pun menatap Syarief dari jauh dengan mata tak berkedip, telinga tak tertutup, ia mendengar baik-baik ceramah dari Syarief, yang menceritakan tentang istimewanya anak pesantren, apalagi Aisya sudah lama ia tidak mendengar nasehat dari Syarief untuknya.

Selesai Acara semuanya, para santri dan santriwati  bersalaman sesamanya, dan bersama guru-guru mereka, lalu mereka keluar berbondong-bondong untuk pulang.

Dalam suasana ramai di halaman pesantren, Syarief mau masuk ke rumah Abia, karena tadi Abia berpesan kepada Syarief untuk menemuinya selesai acara, namun tiba-tiba dari belakang Syarief, terdengar suara yang memanggilnya dengan lembut.

“Kak... Syarief”

Syarief menoleh ke arah suara tersebut, ternyata dugaannya benar, itu adalah suara Aisya, baginya seperti sebuah mimpi, ketika mendengar suara Aisya memanggilnya, karena hari-hari ini, ia berfikir bahwa tidak ada lagi jalan baginya untuk baikan sama Aisya. Maka ia pun melangkah menemui Aisya, dengan senyuman di bibirnya. Aisya juga tersenyum, mencoba menyambut kedatangan Syarief dengan senang hati.

“Ada apa Aisya?”

“Ceramahnya bagus kak, tapi Aisya gak ngerti tentang masa depan orang yang sekolah dan orang belajar di pesantren?” tanya Aisya dengan bangga.

“Oooo maksudnya orang yang belajar Ilmu Agama itu lebih punya masa depan ketimbang orang yang belajar Ilmu umum, karena masa depan itu adalah masa setelah kita meninggal dunia.” jelas Syarief

“Ustaz... “ sapa seorang santri kecil yang berdiri di samping Syarief.

“Ia” jawab Syarief sambil menoleh ke santri itu.

“Amanah dari Abia, Ustaz disuruh masuk!”

“Ia, ia saya akan ke sana!”

Santri tersebut pun pergi, Syarief kembali melihat Aisya yang berdiri di depannya.

“Eee bentar ya Ifa... “ kata Syarief

“Gak papa... kakak pergi aja, kakak kan sudah jadi orang penting sekarang!” kata Aisya dengan ejekan kecil.

“Bukan hay... ya sudah kakak pergi dulu ya!”

“Ia, tapi Aisya pulang terus ya, kak!”

“Ia... Ifa, hati-hati!”

“Ia kak…” jawab Aisya, lalu ia berpaling untuk pulang.

Syarief pun melangkah ke rumah Abia, dengan senyuman bahagia, karena sempat berbicara sama Aisya, maka ia pun masuk, dan duduk bersama Ustaz-Ustaz lainnya, bersama hidangan yang lezat di depan mereka. Syarief merasa malu duduk bersama Ustaz-Ustaz yang memperlakukannya seperti Ustaz juga.

“Silahkan minum...” Kata Ustaz Hasan kepada Syarief.

“Ia Ustaz” jawab Syarief sambil mengangguk senyum, ia sangat malu sama Ustaz Hasan, karena Ustaz Hasan adalah Ustaznya, apa lagi beliau tau tentang hubungannya sama Aisya. Namun Ustaz Hasan terlihat bangga dengan Syarief, karena Syarief adalah muridnya, yang kini sudah jadi Ustaz, apalagi tadi beliau sempat menyaksikan Syarief berpidato. Maka Syarief pun mulai mencicipi teh hangat dan kue-kue yang terlihat lezat di depannya.

Setelah mencicipi hidangan, maka satu persatu Ustaz bersalaman dengan Abia dan pamit. Terakhir Syarief, ia juga bangun dan pamit seperti Ustaz-Ustaz lainnya. Namun ia tidak menyangka setelah bersalaman bersama Abia, ia merasakan sesuatu tergenggam di tangannya, tak lain yaitu sedikit Shadaqah Ujrah. Lalu  ia pun keluar dari rumah Abia dan pulang, dalam perjalanan ia sangat bersyukur, karena ia merasakan orang-orang sudah memuliakannya layak seorang Ustaz, apa lagi Aisya yang sudah lama membencinya, tapi malam ini mulai tersenyum dan mendekatinya lagi. Syarief teringat akan kisah Zulaikha, yang tenggelam dalam air mata kerinduan, dalam ruang ruang cinta yang memuncak terhadap yusuf, karena Zulaikha terlalu mencintai Yusuf dari pada Tuhannya, namun ketika Zulaikha mencintai Allah SAW, maka Allah pun memenuhi hasrat rindu dan cintanya terhadap yusuf dengan cara mendekatkan Yusuf kepadanya.

Sehingga kembali terbesit di hati Syarief untuk memperingatkan  Aisya tentang janji khitbah yang dulu.