Kali ini saya akan membicarakan soal sepak bola. Ini salah satu cabang olahraga yang paling saya gemari, selain bulu tangkis. Pada dasarnya saya suka semua jenis olahraga. Hanya saja, dua cabang itulah yang saya sempat mendalaminya meski keterlibatan saya hanya untuk tingkat lokal dan terbatas hingga bangku SMA.  Kamis malam (19/1/2017) lalu saya sempat terkejut saat membaca berita di Republika.co.id (ROL) dan di beberapa media daring lainnya. Dalam berita itu dikabarkan, Direktur Teknik FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional) Marco van Basten berencana menghapus aturan offside dalam permainan sepak bola. Secara umum, offside berarti keadaan yang terjadi ketika seorang pemain yang akan mendapat operan bola sedang berada pada posisi yang lebih dekat dengan garis gawang musuh dibanding lawan-lawannya. 

Keterkejutan saya bukan soal aturan baru yang digagas oleh mantan penyerang legendaris andalan Belanda tersebut. Justru setelah membaca itu saya langsung ingat, bahwa saat berlangsungnya Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang, saya pernah membuat tulisan yang mengusulkan dihapuskannya offside dalam permainan sepak bola. Usulan saya itu dimuat di Harian Republika pada (22/5/2002). Berikut ini dua alinea penting dalam tulisan saya yang terkait dengan usulan peniadaan offside tersebut.

Ketentuan baru dengan semangat memberi kemudahan membuat gol, rasanya kini kian dibutuhkan. Bisa saja dibuat aturan, misalnya, back pass ke kiper tak boleh dilakukan di dalam kotak penalti. Atau empat kali berturut-turut mendapat tendangan sudut, tim itu memperoleh hadiah sekali tendangan bebas di luar area penalti yang mengarah ke gawang.

Bisa pula dengan menghapus sama sekali ketentuan offside seperti dalam futsal. Mengapa harus ada offside? Bukankah seluruh luas lapangan itu disediakan untuk bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para pemain? Bebaskan saja penyerang masuk pertahanan lawan, toh pemain belakang akan selalu mengawalnya.

Sampai sekarang, saya masih tetap sependapat dengan rencana penghilangan offside dalam sepak bola. Tentu ada pandangan yang pro dan kontra mengenai hal ini, baik di dalam maupun di luar negeri. Ini wajar adanya. Semua sudah pasti memiliki argumentasi rasional. 

Bagi saya keindahan utama dalam permainan sepak bola itu terletak pada gol-gol yang terjadi. Apalagi bila gol demi gol itu tercipta secara spektakuler. Laga sepak bola akan hambar bila hasil yang terjadi lebih banyak skor kacamata alias 0-0. Ini bisa kita buktikan di teve yang selalu ada siaran ulang terjadinya gol-gol dalam pertandingan penting. Hampir tak ada siaran ulang terjadinya offside, kecuali yang sempat menghasilkan gol dan dinilai kontroversial. 

Pembebasan sepak bola dari jerat offside akan menciptakan taktik dan peluang setiap tim untuk menyusun strategi sejeli mungkin dalam membongkar serta menerobos pertahanan lawan. Itu otomatis akan terjadi. Permainan menjadi semakin terbuka karena banyak sisi dan sudut lapangan yang bisa menjadi lahan terciptanya gol dan ini yang sangat diharapkan penonton. 

Tiadanya aturan offside juga akan mengurangi kemungkinan timbulnya sengketa akibat gol yang berbau offside. Kita tahu, teramat sering terjadi sengketa gol berbau offside. Tak hanya itu, bahkan hal tersebut sering pula diikuti keributan di lapangan. Tugas wasit dan penjaga garis akan menjadi lebih ringan dan fokus ke hal-hal lain yang tak kalah penting. 

Peniadaan aturan offside sudah pasti akan diikuti dengan aturan lain yang terkait. Ini sekadar contoh saja dari usulan saya. Misalnya saja, meski tak ada offside, pemain lawan hanya boleh berada di luar kotak penalti selama bola belum melewati garis tengah menuju lapangan musuh. Jika bola sudah melewati garis tengah, maka sah-sah saja lawan memasuki kotak penalti. 

Selanjutnya, penjaga gawang juga perlu lebih dilindungi lagi. Bila seorang pemain belum menguasai atau tidak bergerak menuju kea arah bola, maka ia tak diperkenankan mendekati kiper. Sang kiper harus diberi keleluasaan, misalnya dalam radius 1,5 m2 tak boleh ada lawan yang berada di dekatnya. Saat tendangan penjuru belum dilakukan pun seyogianya kiper tak boleh didekati dalam jarak rapat (radius 1,5 m) oleh pemain lawan. Barulah pada saat boleh melambung, lawan bisa berebut bola dengan kiper tersebut.

Pengecualian terhadap hal ini bisa dilakukan bila pemain lawan tengah menguasai bola atau memang sedang ada bola yang bergerak menuju arah tertentu yang juga sedang didekati oleh sang kiper. Ini jelas tak bisa dihindari dan pemain lawan boleh saja berdekatan atau berduel bola dengan penjaga gawang. 

Saya yakin, kondisi ini akan membuat sepak bola menjadi kian menarik. Gol demi gol akan lebih mudah lahir dari situasi seperti ini. Para pemain akan lebih dinamis bergerak ke setiap sudut lapangan. Upaya membuka ruang pertahanan lawan akan menjadi misi utama setiap tim dan bukan hanya bagaimana menjaga wilayahnya dengan bertahan total saja. Bagi tim yang secara teknis lemah, strategi bertahan total juga akan sangat berisiko karena luasnya ruang pertahanan --akibat tak ada offside-- yang bisa menjadi kreasi bagi terjadinya terobosan lawan ke jantung pertahanan. 

Saya percaya, tidak akan mudah dan cepat untuk melaksanakan revolusi baru di lapangan hijau tersebut. Simulasi dan uji coba di pelbagai turnamen sepak bola tentu sangat dibutuhkan. Masukan lain dari berbagai kalangan juga tak kalah penting sebelum akhirnya keputusan itu ditetapkan menjadi aturan resmi. 

Karena itu, FIFA harus membuka diri bagi upaya mendapatkan masukan dari khalayak luas. Bila perlu, adakan seminar untuk mengupas tuntas rencana tersebut di banyak negara. Bukan hanya membahas pro dan kontranya saja, akan tetapi yang lebih penting adalah mendiskusikan adanya variasi aturan lain yang mengiri rencana penghapusan offside.

Dengan revolusi atau pembaruan seperti ini akan membuat sepak bola menjadi cabang olahraga yang dinamis (tidak statis) dan sangat mengakomodasi tuntutan masyarakat. Hal ini sudah sewajarnya, mengingat sepak bola sudah menjadi milik dunia dan olahraga terpopuler sejagat. 

Kita tinggal menunggu, sejauh mana FIFA serius menjadikan sepak bola sebagai sajian yang kian menarik untuk terus ditonton dengan perubahan-perubahan yang bernilai positif. Ujung dari perubahan itu haruslah mengutamakan kepentingan konstituen (penonton), meski bisa juga memberi dampak positif bagi pihak industri yang terlibat di dalamnya.