JAKARTA - Perusahaan raksasa farmasi, Johnson & Johnson, untuk keduakalinya kalah dalam sidang pengadilan terkait produk bedak yang dituding penyebab kanker. Firma besar ini harus membayar US$ 55 juta atau setara Rp732 miliar terhadap seorang wanita yang mengaku menderita kanker ovarium setelah memakai produk itu.

Lebih kurang empat bulan lalu setelah kehilangan US$ 72 juta atau sekitar Rp 958  miliar dalam kasus yang sama di St. Louis, Missouri, pengadilan memerintahkan Johnson & Johnson harus mambayar uang kompensasi US$ 5 juta atau Rp67 miliar serta uang pengganti US$ 50 juta atau Rp665 miliar kepada Gloria Ristesund.

Nenek berusia 62 tahun asal Dakota Selatan itu didiagnosa menderita kanker pada 2011 yang ditimbulkan oleh bedak yang diproduksi Johnson & Johnson. Ristesund menggunakan bedak itu selama hampir 40 tahun. Saat ini Ristesund dalam proses pengobatan setelah melakukan operasi.

Di pengadilan, Ristesund menuding J&J melakukan kesalahan dalam penelitian dan pengembangan produk, termasuk promosi, distribusi, pemasaran serta penjualan bedak tersebut. Ristesund adalah salah satu dari 60 penuntut yang melayangkan class action melawan J&J, pemasok Imerys Talc America Inc and Personal Care Products Council dengan tuduhan terlibat timbulnya kanker yang mereka derita.

J&J berupaya mengajukan banding. Juru bicara perusahaan, Carol Goodrich, beragumen bahwa keputusan juri dalam kasus Ristesund bertentangan dengan hasil penelitian selama 30 tahun. Salah satu produsen perawat kesehatan terbesar di dunia itu menolak dikaitkan antra bedak dengan kanker ovarium seperti yang disampaikan para penggugat.

"Sayangnya, keputusan juri bertentangan dengan hasil studi yang dilakukan para ahli medis di seluruh dunia selama 30 tahun. Mereka menyatakan bahwa produk layak dilanjutkan untuk mendukung keselamatan bedak kosmetik," kata Goodrich dalam sebuah pernyataan. "Johnson & Johnson selalu mengutamakan keselamatan," sambungnya.***