JAKARTA - Pengamat terorisme, Nasir Abbas, mengatakan, salah satu pelaku teror pada Kamis pagi kemarin adalah Sunakin alias Afif. Yang diduga Sunakin itu adalah pria yang mengenakan topi, kaos hitam, celana jins, membawa dua ransel, dan menembaki polisi dan warga di sekitar kompleks pertokoan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis, 14 Januari 2016. Pria tersebut tercatat berasal dari Desa Duren, Kecamatan Klari, Karawang, Jawa Barat.

Menurut Nasir, Sunakin telah lama berkecimpung dalam jaringan teroris. Pada 2010, Sunakin ditangkap pihak Kepolsiian bersama Dul Matin saat melakukan latihan militer di Gunung Bun, Aceh Besar. "Ada beberapa nama tersangka lain yang juga ditangkap saat itu diantaranya Ajad Sudrajad dan Sugito," kata Nasir kepada Tempo, Jumat, 15 Januari 2016.

Kamis kemarin, serangkaian bom meledak di sekitar Sarinah sekitar pukul 10.53 WIB. Ledakan tersebut disusul dengan adu tembak antara polisi dan pelaku ledakan. Sedikitnya tujuh orang tewas, termasuk lima terduga teroris. Diantara korban warga sipil yang tewas adalah warga asing. Sedikitnya 24 orang luka-luka dan masih dirawat di sejumlah rumah sakit di Jakarta.

Saat para pembunuh berdarah dingin itu beraksi, fotografer Tempo, Aditia Novansyah, berada di lokasi kejadian dan merekam aksi pelaku teror bom itu. Pelaku itu datang dari kerumunan massa, beransel, mengenakan kaus tangan, topi, mengacungkan pistol dan menembak polisi. Terlihat dalam foto pelaku teror seorang lelaki, wajah Indonesia.

Pria yang dimaksud oleh Nasir itu mengenakan pakaian hitam, topi merek sepatu Nike, dan tas punggung. Lelaki itu berdiri di Jalan Thamrin, arah Bundaran Hotel Indonesia. Aditia menjepret wajah pelaku dengan kameranya, lensa 70/200. Lelaki bertopi Nike itu terlihat bersama seseorang mengenakan pakaian biru dan rompi hitam. Lelaki itu juga mengenakan tas punggung.

Menurut Nasir, dalam aksi pengeboman dan penembakan di Sarinah itu, ada dua hal yang menjadi target teroris saat melakukan serangan teror di kawasan pusat perbelanjaan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis kemarin. "Pertama, mereka menargetkan polisi. Kedua, menargetkan warga negara asing," ucap Nasir saat dihubungi Tempo, Jumat, 15 Januari 2016.

Nasir berujar, kepolisian menjadi lembaga paling dibenci teroris. Kebencian itu muncul lantaran kepolisian menjadi penghalang teroris dalam beraksi. Apalagi kepolisian beberapa waktu lalu sempat melakukan operasi besar-besaran penangkapan terduga teroris. Menurut mantan anggota Jemaah Islamiyah itu, kinerja kepolisian dalam pengungkapan kasus terorisme cukup gemilang.

Kepolisian, tutur Nasir, berhasil meredam rencana teror di sejumlah wilayah saat perayaan Natal dan tahun baru lalu. "Kita harus mengapresiasi kinerja mereka," ucap Nasir. Apalagi saat ini jaringan teroris mulai berkembang sejak kemunculan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Nasir menganalisis, teror bom di Sarinah diduga melibatkan jaringan kelompok Bahrun Naim.

Dia diduga mengendalikan dan membiayai teror di Indonesia dari Suriah. Di Indonesia, salah satu jaringan Bahrun adalah Arif Hidayatullah. Jaringan Arif telah ditangkap polisi pada Desember lalu di Bekasi. Meski telah ditangkap, jaringan Bahrun berkembang menjadi sel-sel yang sangat banyak. Karena itu, kepolisian tidak mungkin bisa mendeteksi semua sel yang ada.

Selain polisi, warga negara asing yang berada di Indonesia menjadi target teror. Karena itu, kebanyakan teroris sering mengancam tempat-tempat publik yang sering ada warga negara asing. "Pola pikir mereka kan orang Barat menentang mereka dan ISIS," katanya.***