Satu bulan sudah Syarief mencoba melupakan cinta Aisya, ia menyibukkan diri untuk mengajar, sengaja ia membeli kamus untuk mencari makna-makna kitab, dan membeli buku-buku untuk ia baca di setiap waktunya yang kosong, ia juga selalu pergi ke tempat belajar setiap
malam dengan cepat, supaya bisa mengulang bersama Abia tentang materi yang akan ia ajarkan kepada anak-anaknya, menanyakan Makna-makna kitab, syarahan dan Ibarat-ibarat yang baginya terlalu sulit. Sudah sebulan juga ia tidak bertemu dengan Aisya, apalagi belakangan ini Aisya sudah berhenti mengajar untuk sementara.

Dalam Suasana hari mulai kekuningan, Syarief baru saja menyelesaikan perintah dari Allah, yaitu Shalat Ashar yang ia dirikan di rumah. Lalu ia pun bangun untuk menuju rumah Bu Aini, niatnya hanya sekedar ingin menanyakan kabar Aisya. Sesampai di rumah Bu Aini.

“Assalamualaikum!” ucap Syarief.

“Wa’alaikum salam!” jawab Bu Aini di belakang.

Syarief pun menuju ke ruang belakang, ia melihat Bu Aini sedang mengoreng ikan. Sementara Bu Aini juga melihat Syarief, membuatnya sangat bahagia, karena sudah sebulan Syarief tidak ke rumahnya, beliau mengira Syarief sudah marah kepadanya karena telah melarangnya menemui Aisya, apalagi bagi Bu Aini, Syarief adalah satu-satunya tempat beliau bercurhat tentang kehidupan Aisya.

“Syarief makan dulu ya!” suruh Bu Aini, dengan rasa sayang, dan sangat perhatian.

“Ia bu.” jawab Syarief sambil duduk di meja makan.

“Sudah lama ya Bu? Syarief tidak ke sini.” sambung Syarief, sambil mengisi piring dengan nasi.

“Ia, kenapa ya?”

“Syarief takut Bu!”

“Ya… sekali-kali gak papa, tapi jangan terlalu sering, takut nanti terjadi fitnah bagi orang-orang.”

“Ia, Oia Bu, Bagaimana keadaan Aisya?”

“Ia, dia baik-baik saja, kenapa?”

“Gak papa, Syarief khawatir saja, takut ia bergaul yang berlebihan, di sinikan suasana pergaulan lebih parah dari pada di desanya.”

Mendengar kata-kata itu, Bu Aini segera duduk di meja makan tepat di depan Syarief, yang mana Syarief sedang menikmati hidangan.

“Itu lah yang Ibu khawatirkan dari Aisya, bagaimana ia berteman?” kata Bu Aini dengan menggunakan ekpresi tangannya, bak seorang guru yang sedang menjelaskan pelajarannya kepada murid-muridnya.


“Bagaimana kalau Aisya masuk ke pesantren setelah tamat dari sekolahnya?”

“Boleh, kalau dia mau!” jawab Bu Aini

“Syarief masih belajar di Syifaul Qulub?” sambung Bu Aini lagi.

“Masih Bu, cuma sudah mengajar aja.“

“Bagus, bisa dikembangkan nantinya.” jawab Bu Aini membanggakan.

Tiba-tiba terdengarlah suara wanita yang memberi salam dari ruang depan,

“Assalamualaikum”

“Wa’alaikum salam” jawab Syarief pelan, ia tau itu suara Aisya, maka hatinya pun mulai berdebar.