MEUREUDU - Gempa berkekuatan 6,5 skala richter yang mengguncang Kabupaten Pidie Jaya menghancurkan banyak bangunan, rumah atau bangunan publik. Padahal, jika melihat sejarah, nenek moyang masyarakat Aceh telah mengajarkan pembuatan rumah tahan gempa.
Berdasarkan pantauan Republika.co.id, di beberapa titik rumah warga Pidie Jaya yang masih banyak berdiri hingga saat ini adalah rumah rumah adat Aceh, sedangkan rumah berkontruksi modern banyak yang runtuh. Hal ini tampak di sepanjang Jalan Medan-Banda Aceh, tepatnya di Kecamatan Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya. 

Banyaknya rumah runtuh  lantaran warga sudah mulai jarang membuat rumah adat Aceh yang bersahabat dengan alam. Warga lebih memilih membuat rumah dengan struktur modern.

"Dulu kan ya seperti dilihat di lapangan, rumah adat Aceh itu dibuat sesuai dengan keadaaan alam di aceh sebenarnya,"ujar Budayawan Majelis Adat Aceh (MAA), Tarmizi Abdul Hamid kepada Republika.co.id di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Sabtu (9/12).

Tarmizi mengatakan, rumah Aceh bersahabat dengan alam lantaran kontruktruksi bangunannya yang saling kait mengait, sehingga mampu meredam getaran gempa. "Bersahabat dengan bencana, sehingga dapat mengurangi korban jiwa. Rumah adat Aceh lebih aman dari beton, rangka atap juga pakai rotan," ucap dia.

Sementara, lantai dan tiang-tiang rumah Aceh terbuat dari kayu-kayu yang kokoh dan tidak menggunakan paku untuk saling menghubungkan, melainkan dengan kait kayu. Karena itu, saat gempa datang rumah adat Aceh tersebut hanya akan mengikuti irama guncangan tersebut dan tidak roboh.


"Kokohnya rumah Aceh itu sesuai dengan keadaan alam yang dikelilingi gempa. Orang aceh itu dari zaman ke zaman memang sudah pernah mengalami seperti di Pidie Jaya sekarang," kata dia.

Meski guncangan di rumah tradisional Aceh lebih kuat, Tarmizi mengatakan hal itu efek dari kait kayu yang sengaja dipasang longgar. Bahkan, menurut Tarmizi rumah Aceh bisa terangkat jika ada gempa dahsyat. Jika bangunan bergeser, itu pun hanya beberapa sentimeter dan dalam keadaan utuh

Menurut dia, pondasi dari suatu tempat, batu utuh ditanam dangkal untuk memperlentur pergerakan keseluruhan bangunan sesuai dengan pergerakan tanah saat gempa. Tarmizi mengatakan, rancangan rumah Aceh itu mampu mengurangi korban jiwa.

"Belum ada sejarahnya gempa besar yang merobohkan Rumah adat Aceh. Berkali-kali digoyang gempa, Rumah Aceh tetap tegak. Bisa dicek sendiri, sudah berapa kali gempa dan tsunami, tapi rumah Aceh lama masih berdiri kokoh," kata Tarmizi.

Namun, sayangnya kekuatan rumah Aceh dalam mengurangi korban jiwa tersebut tidak banyak diterapkan oleh generasi saat ini. Karena, masyarakat hari ini lebih banyak membangun rumahnya dari beton, besi dan material berat lainnya. Sementara, kata dia, orang-orang dulu menggunakan kayu yang kokoh seperti besi.

"Tapi kayu-kayu sekarang cepat rapuh, karena kayunya tidak berkualitas. Kalau dibuat kayu semua tidak bisa karena dilarang, makanya kembalilah ke rumah modern atau rumah kekinian," ujar Tarmidzi.

Tarmizi mengimbau agar rumah adat ini tak hanya dilestarikan sebagai warisan budaya saja. Tapi, hendaknya bisa dikembangkan dengan teknologi modern. "Kita minta gaya dan arsitektur rumah adat Aceh jangan diubah, mungkin bahannya bisa yang lain, karena kayu sudah mulai langka," ucap Tarmizi.