RUSMAN terpana dengan ungkapan Siti, dia bahkan bagaikan kucing yang terendam air. Kuyu, tak terlihat lagi penampilan eksklusif, gagah dan tampan lagi. Menciut dan mengerucut.

‘’Jangan abang kira Siti akan mendiamkan masalah ini, Siti akan terus mengusik kehidupan abang. Rasanya juga tak perlu abang berharap Siti menjadi isteri abang untuk sekedar bertanggungjawab atas perbuatan abang. Siti iklas, karena Siti pun merasa jika Siti akan menumpahkan masalah ini ke hukum maupun keluarga abang, juga  akan sia-sia. Hanya saja Siti minta, cukuplah Siti saja yang abang perlakukan seperti itu, jangan ada perempuan perempuan lain menjadi mangsa‘’ suara Siti bergetar hebaT. Tubuhnya berguncang, namun mencoba untuk tegar, walaupun dia tak kuasa untuk menahan deraian air mata. Yang bersimbah mengucur ke luar.

‘’Bahagialah abang karena orang yang abang nodai tak menuntut’’ kata Siti lagi. Kali ini tak meneruskan ucapan  lagi, dia segera menuju pintu lalu keluar dan menutup pintu itu dengan membantingkannya keras.

***

Sebulan lamanya, Siti memendam prahara yang terjadi pada dirinya tanpa memberitaHukannya pada keluarga. Sementara Ayah dan Emak tak lagi mempertanyakan soal lamaran Rusman yang dituntut mereka sebelumnya, karena Siti sudah tegas menolak pinang Rusman. Jawaban ini sebenarnya yang dimaui keluarga. ‘’Ya atau menolak’’, disamping itu Rusman tak lagi pernah menghubungi Emak dan Ayah, sehingga persoalan lamaran raib begitu saja. Hanya saja Emak dan Ayah sepertinya berubah sikap terhadap Siti, keduanya bagaikan tak acuh saja. Mungkin mereka kecewa berat karena Siti menolak lamaran Rusman, padahal jika mereka mengetahui apa sebenarnya yang sudah terjadi, bisa saja keadaan jadi berbalik total. Siapapun orang tua tidak akan rela anak gadisnya dinodai. Pasti mereka akan turun tangan menyikapi masalah itu.

SITI, baru saja keluar dari pintu gerbang sekolah setelah usai mengajar siang itu. Handphonenya terdengar berdering lalu mengambilnya dari dalam tas tangan. Di monitor terlihat Rizal menghubunginya. Darahnya di rongga dadanya berdesir, karena beberapa minggu dia tak lagi pernah menghubungi pemuda idamannya itu. Mungkin saja telepon dari Rizal itu bisa saja bertanya, ada apa kenapa seperti kehilangan kontak.

‘’Beberapakali abang hubungi kenapa tak diangkat’’ terdengar suara Rizal. Siti memang sejak peristiwa yang terjadi terhadap dirinya mencoba tak lagi menghubungi Rizal, dia ingin menenteramkan diri dan tak ingin mengusik Rizal, sebab jika nanti Rizal tau tentang apa yang telah menimpa dirinya, duhhhhh……!, kasihan lelaki itu.

‘’Maaf Bang, waktu abang menghubungi hp sedang ngadat. Bagaimana kabar abang, sehat…..?’’ Siti mencoba menenangkan diri.

‘’Sehat, rencananya abang mau balik dulu ke Pekanbaru. Karena Papa sakit’’

‘’Kapan…..?’’ Siti tersentak.

‘’Abang berangkat naik bus sore ini besok pagi sudah sampai’’

‘’Sakit apa papa, Bang’’

‘’Biasalah, Papa itu kan sudah lama kena sesak nafas, sementara itu abang kan sudah beberapa bulan tak pulang. Jadi,sekalian lah’’

‘’Ohhh, begitu. Iyalah Bang. Besok kita ketemu ya’’

‘’Nada bicara Siti kok terdengar asing abang dengar, tak seperti sebelumnya selalu bercanda. Ini datar saja, ada masalah….?

‘’Ahhhh, biasa saja kok bang. Tak ada apa-apa’’ Siti mulai cemas.

‘’Baiklah, sampai jumpa ya’’ Rizal memutuskan pembicaraan. Sesaat Siti diterpa kerisauan, apalagi pertanyaan Rizal tadi yang merasa curiga dengan kata-kata sambutannya yang agak lain dari biasanya. Ini memang diakuinya, dia merasa takut untuk bicara banyak dan semuanya memang tanpa sengaja. Mungkin kecemasan dan kerisauan lah yang membuat dirinya kikuk dan serba salah. (Bersambung)

Cerita Sebelumnya… 

Cerita Selanjutnya...