DENPASAR - Desa adat pakraman Sawan di Bali Sempat tercoreng karena ulah tokoh adatnya yang melakukan tindakan tak senonoh dengan wanita lain yang bukan istrinya. Ironisnya perbuatan itu dilakukan di ruangan bale banjar setempat. Akibat ulahnya yang kepergok warga, tokoh adat di desa ini pun disidangkan secara adat. Hasilnya, mereka berdua diupacarai pembersihan dan balik sumpah.

"Upacara ini disebut Parasida Bumi. Itu dibuat untuk pembersihan alam bilamana perbuatan itu benar terjadi," papar salah seorang warga Desa Sawan, Rabu (25/5/2016).

Dengan sikap tenang, nampak di hadapan seluruh warga, Bendesa Desa Pakraman Sawan, Siangan Gianyar, I Nyoman Sj dan seorang ibu rumah tangga, Ni Made Sr, menjalani upacara Prasida Bumi, sumpah dan pembersihan.

Upacara yang digelar jelang sore hari itu berjalan cukup hening tanpa ada pembicaraan kasak kusuk warga. Maklumlah sosok laki-lakinya adalah seorang Bendes yang sudah tentu jadi junjungan warga dan dihormati.

Saat dilangsungkan upacara, Bendesa Adat ini tetap membantah dituding berselingkuh. Pun dirinya juga tidak bisa menjelaskan ada keperluan apa dirinya di dalam ruangan dengan pintu terkunci.

Upacara yang sempat membuat dua kelompok warga saling bersiteru pada pertengahan April lalu, ini dipimpin oleh Sri Empu Dharma Sidi, dari Griya Taman Angsoka, Laplapan Ubud.

Untuk diketahui bahwa pertengahan April lalu, dikatakan oleh sejumlah warga, saat itu warga Desa Adat setempat mengrebek, kedua pasangan yang bukan suami istri ini di sebuah ruangan di balai banjar dengan pintu terkunci.

Sejumlah warga kemudian mendobrak pintu dan mereka membantah dituduh berselingkuh. "Dari kejadian itu, kemudian timbul gejolak antara dua kelompok warga yang beda pendapat. Hingga akhirnya mereka bersiap bersumpah dan kemudian digelar upacara Prasida Bumi ini," ujar Kepala Dusun Swan I Wayan Rena.

Jadi upacara ini bisa dikatakan sebagai bentuk upacara sumpah cor atau sumpah pocong. Karena satu sisi warga yang melakukan pengerebekan bersikukuh ada sesuatu perselingkuhan di dalam ruangan saat itu. Sedangkan Bendesa Adat bersikukuh dengan pendiriannya tidak ada hubungan apa pun.

Melalui upacara ini, kata Rena, suasana desa adat setempat diharapkan tentram kembali. Termasuk juga mengembalikan kesucian balai banjar.

"Jika kedua orang ini bersalah di mata Tuhan, diyakini akan menerima akibatnya. Namun bila tuduhan itu fitnah berlaku juga sebaliknya," jelas Sri Empu usai memimpin upacara ini.***