JAKARTA - Menjelang pertengahan Mei 1998, kekuatan penguasa Orde Baru semakin melemah. Soeharto mulai ditinggalkan orang-orang kepercayaannya. Puncaknya, Soeharto memutuskan lengser pada 21 Mei 1998, dan menyerahkan kekuasannya kepada BJ Habibie.

Direktur Nahdlatul Ulama (NU) online yang juga aktivis reformasi 1998, Muhammad Syafi' Ali atau yang biasa disapa Savic Ali, mengisahkan kembali detik-detik menjelang Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya pada Kamis pagi yang bersejarah itu.

"Saya pribadi punya feeling Soeharto akan mundur karena yang menentang dia sudah terlalu banyak. Tapi tidak menyangka akan secepat itu ," ungkap dia saat ditemui di Griya Gus Dur, Kamis (19/5/2016).

Saat itu, kata Savic, sudah terlalu banyak kelompok yang menunjukkan bahwa mereka tidak lagi berdiri membela Soeharto bahkan menteri-menterinya sudah banyak yang mundur, seperti Ginandjar Kartasasmita.

Savic merasa Soeharto sudah tidak punya "kaki" untuk meneruskan kekuasaannya. Kekuasaan Soeharto sudah goyah. Savic juga menilai di tubuh militer mulai muncul tanda-tanda kegamangan dengan banyaknya perlawanan dari mahasiswa dan masyarakat.

Tidak hanya di Jakarta, di Yogyakarta, jutaan orang berkumpul di alun-alun menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Hal itu menunjukkan Soeharto tidak mempunyai dukungan lagi. Sudah mulai ditinggalkan oleh kroni-kroninya bahkan di tubuh tentara.

Di lapangan sendiri mahasiswa bisa merasakan, ada tentara-tentara yang memusuhi mahasiswa dan ada tentara-tentara yang sepertinya bersahabat dengan mahasiswa. Savic merasakan itu.

Dia menceritakan bahwa setiap pergantian penjagaan oleh tentara, suasananya selalu mencekam. Mahasiswa selalu menebak-nebak apakah yang berjaga nanti adalah tentara yang bersahabat atau tentara yang memusuhi mahasiswa.

"Dari tentara di lapangan itu kami sudah bisa merasakannya. Tentara Angkatan Laut saat itu sikapnya lebih friendly terhadap mahasiswa. Ada kebingungan di tubuh militer apakah akan tetap mengawal Orde Baru," kata Savic.

Tak Terbendung

Savic mengaku tidak ada yang menyangka Soeharto akan memutuskan berhenti secepat itu. Apalagi, sebelumnya pada 12 Mei 1998, aparat keamanan melakukan penembakan terhadap empat mahasiswa di Universitas Trisakti yang sedang berdemonstrasi.

Kemudian disusul kerusuh dan penjarahan pada 13-14 Mei 1998. Mahasiswa sudah banyak yang melakukan demonstrasi di jalan raya dekat kampus mereka masing-masing. Kemudian pada tanggal 18 Mei 1998, mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR RI.

"Relatif tidak ada kabar Presiden Soeharto akan berhenti. Informasi yang beredar saat itu simpang siur. Fakta bahwa dia menyatakan berhenti pada tanggal 21 Mei 1998 itu begitu mengejutkan. Tidak ada indikasi," ujar dia.

Setelah gerbang DPR/MPR RI dijebol oleh mahasiswa, aparat keamanan sudah tidak bisa mempertahankannya lagi. Gelombang mahasiswa dan warga masyarakat berdatangan seperti air bah ke gedung yang sebelumnya dijaga ketat.

Dari kelompok mahasiwa, ada Forum Kota (Forum Kota) yang paling besar memiliki massa. Ada juga Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Se-Jakarta (FKSMJ yang diorganisir oleh senat-senat universitas secara formal.

Ada juga kelompok mahasiswa yang membawa bendera kampusnya masing-masing seperti Universitas Indonesia dan Universitas Trisakti.

"Kalau Forkot itu diorganisir oleh kelompok aktivis dan pers mahasiswa. Jadi kelompok-kelompok yang punya sejarah perlawanan terhadap Orde Baru," tutur Savic.

Kemudian ada elemen warga masyarakat yang turun ke jalan atas inisiatif sendiri secara organik. Tidak ada yang mengorganisir. Mereka ikut mendukung dengan cara ikut datang ke DPR karena melihat dari media massa.

Seluruh media pun sudah memberitakan semua perlawanan dan tuntutan untuk mundur yang diberikan oleh mahasiswa. Bahkan kelompok intelektual publik seperti para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah menuntut Soeharto untuk mundur. ***