JAKARTA - Hasil penelitian Maarif Institute menempatkan ibukota Bali, Denpasar, sebagai kota paling Islami di Indonesia. Kemudian disusul Yogyakarta dan Bandung. Sementara kota-kota yang berpenduduk mayoritas Muslim dan bahkan menerapkan Perda Syariat Islam seperti Banda Aceh dan Padang, ditempatkan di posisi paling bawah.

Hasil penelitian ini tentu saja membuat banyak orang berkerut kening. Mantan Ketua Muhammadiyah Cabang Istimewa Kairo, Wahyudi Abdurrahim, menyebut penelitian Maarif Institut tersebut ngawur. "Sesuatu yang dibangun di atas pondasi yang salah, maka hasilnya pasti salahm," kata alumni Al Azhar Mesir tersebut.

Dalam blog pribadinya almuflihun.com, Wahyudi mengkritisi variabel yang digunakan Maarif Institute dalam penelitian tersebut. Berikut tuisan lengkap Wahyudi Abdurrahim yang GoRiau.com kutip dari almuflihun.com :

Baru saja di media massa beredar berita bahwa Maarif Institute melakukan penelitian terkait kota terislami di Indonesia. Indikator yang dipakai Maarif Institute, seperti diberitakan liputan6.com adalah berlandaskan Al Quran dan hadis soal gambaran agama Islam tentang kota yang sejahtera, aman, dan bahagia.

Sementara itu, berita dari detik.com mennyatakan, “Kami mengukur kota Islami dengan melihat sikap lemah lembut seseorang dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik,” jelas Ahmad Imam Mujadid Rais, ketua koordinator penelitian Indeks Kota Islami.

Penelitian ini, lanjut Rais, berangkat dari pemahaman Islam sebagai agama rahmat. Dia mengatakan, agama rahmat yang dimaksud adalah Islam sebagai agama harus membawa perubahan berupa kebaikan bagi yang lain.

“Berdasarkan itu kami dalam rapat internal dan mengundang expert, melakukan kajian-kajian. Kami definisikan bahwa kota Islami adalah kota yang aman, sejahtera, dan bahagia,” ungkap Rais.

Ada beberapa kejanggalan di sini:

1. Acuanya adalah Al Quran dan hadis soal gambaran agama Islam tentang kota yang sejahtera, aman, dan bahagia.

Apakah dalam Al Quran dan hadis, sebuah masyarakat disebut Islami hanya karena suatu kota sejahtera, aman dan bahagia?
Bagaimana dengan ketaatan kepada Allah (hablun minallah), seperti ketaatan beribadah, shalat berjamaah, puasa sunah, haji dan lainnya?

Bagaimana juga terkait dengan hablumminannas (interaksi dengan sesama manusia)? Semisal tidak pacaran apalagi sampai pergaulan bebas, tidak menonton film porno, hormat kepada orang lain, suka menolong, menunaikan kewajiban zakat dan infak, tidak bakhil dan lain sebagainya? Mengapa tidak masuk variable?

Bagaimana juga dengan hormat kepada diri sendiri, semisal tidak merokok, tidak mabuk-mabukan, bebas narkoba, dan lain sebagainya? Juga bagaimna dengan interaksi dengan alam, semisal menjaga lingkungan dan lainya?

Lalu bagaimana juga dengan etika (akhlak), semisal sikap jujur, tidak korupsi, berlaku iffah, qanaah, tawakal, taqwa, tawadhu dan seterusnya?

Di sini jelas sekali ketimpangan dalam memandang kota Islami tadi. Al Quran dan hadis Nabi SAW hanya dipahami sepotong kecil saja, terkait dengan sejahtera, aman, dan bahagia. Jika variabel hanya demikian, Jepang jauh lebih Islami.

Namun apakah layak mereka yang tidak mengakui rukun iman dan Islam, dan juga tidak menerapkan berbagai kewajiban yang diturunkan oleh syariat dikatakan sebagai orang yang Islami?

2. Variable lain, “Kami mengukur kota Islami dengan melihat sikap lemah lembut seseorang dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik”.

Apakah hanya karena seseorang bersikap lemah lembut dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik sudah dianggap Islami? Bagaimana jika ia tidak menjalankan kewajiban agama? Tidak menutup aurat, tidak shalat, puasa dan sebagainya? Meski ia tidak memiliki etika pada Allah, diri sendiri, orang lain dan alam?

Dua poin ini saja sudah cukup dijadikan sebagai bantahan terkait kota Islami yang terlalu simplistik itu. Islam adalah agama yang kaffah (sempurna), terkait dengan urusan akidah, syariat dan akhlak. Belum sempurna keislaman seseorang jika belum memenuhi 3 kriteria tadi.

Tidak benar juga mengatakan orang telah berislam, namun memisahkan antara akidah dengan syariat, atau akidah dengan akhlak. Apalagi kemudian seseorang berakhlak tanpa akidah, maka perbuatan baik yang dia lakukan akan sia-sia belaka.

Dalam kedah ushul dikatakan: Sesuatu yang dibangun di atas pondasi yang salah, maka bangunannya pasti salah.

Karena variabel yang digunakan tidak mencerminkan mengenai substansi Islam secara kaffah (komperhensif dan universal), maka hasil penelitian yang dilakukan Maarif Institute terkait kota Islami itu pun gugur dengan sendirinya. Wallahu a’lam. ***