BERDIRI di bukit berbatu, ada di antara jutaan manusia berpakaian serba putih, perasaan aneh melanda sang petinju legendaris Muhammad Ali. Rasa hangat mengalir dalam kalbunya.

"Saya mengalami banyak momentum indah dalam hidup. Namun perasaan yang kualami ketika berdiri di Bukit Arafah, saat melaksanakan ibadah haji, sungguh berbeda. Unik," kata Muhammad Ali menceritakan pengalamannya ke Tanah Suci pada 1972, seperti dikutip dari situs Salaam.co.uk, Sabtu (4/6/2016).

"Saya merasakan atmosfer spiritual yang tak terlukiskan, di tengah 1,5 juta jemaah yang memenuhi panggilan Allah, memohon agar Yang Maha Kuasa mengampuni dosa-dosa mereka dan menganugerahkan rahmat-Nya."

Hati Muhammad Ali tergetar saat menyadari jutaan orang tersebut --dengan warna kulit dan ras berlainan, berbeda bangsa, tak peduli latar belakang, raja, kepala negara, atau orang-orang biasa dari negara miskin-- semua hanya memakai dua lembar kain putih, berdoa kepada Tuhan dengan menanggalkan kesombongan maupun rasa rendah diri.

"Itu adalah manifestasi nyata dari konsep kesetaraan dalam Islam," kata dia.

Sejak hari istimewa itu, pandangan Ali tentang dunia pun berubah untuk selamanya.


Muslim Sejati Menurut Muhammad Ali

Muhammad Ali yang terlahir sebagai Cassius Marcellus Clay pada 1942 memiliki perjalanan spiritual yang panjang.

Istrinya Lonnie mengatakan, pada akhir remajanya, Cassius bertemu sekelompok orang yang bicara pada hati dan pikirannya, Nation of Islam, gerakan warga kulit hitam yang berdasarkan pada Islam.

Sementara pada 1962, ia bertemu dengan Malcolm X yang kemudian menjadi sahabat, sekaligus penasihat spiritualnya.

Ada api yang menyala dalam dirinya, yang membuat Cassius menjadi lebih dari sekedar petinju.

"Kali pertama merasakan spiritualitas dalam diriku adalah ketika mengunjungi rumah ibadah muslim di Miami. Seorang pria bernama Brother John bicara dan kalimat yang kudengar adalah, 'Mengapa kita disebut Negro? Itu karena orang-orang putih ingin merampas identitas kita'... Aku menyukai apa yang kudengar dan ingin belajar lebih banyak," kata Muhammad Ali menceritakan kisah hidupnya, seperti dikutip dari Heavy.com.

Pada 1964, ia menggegerkan dunia dengan mengumumkan telah menjadi seorang muslim dan mengganti namanya menjadi Muhammad Ali. Orang-orang bereaksi keras.

Namun, sang petinju kelas berat itu bergeming. "Aku bebas untuk menjadi apa yang kuinginkan. Aku tak harus menjadi apa yang kalian inginkan," kata Lonnie menirukan pernyataan suaminya.

Tak selamanya Ali bergabung dengan Nation of Islam. Ia kemudian mendalami ajaran Sunni, dan belakangan Sufi.

Perjalanan Ali kemudian membentuknya menjadi pribadi yang lembut dan selalu ada untuk membantu sesama tanpa pandang bulu --apakah yang dibantunya itu berkulit putih, hitam, dari Amerika Selatan, India dari mana pun.

Bahkan, ketika masih menjadi anggota Nation of Islam, ia mendengar rumah jompo untuk kaum Yahudi akan ditutup, Ali pun kemudian mengulurkan bantuan.

"Faktanya, Ali dikelilingi orang-orang dari berbagai latar belakang. Pelatihnya orang Italia, asisten pelatihnya Yahudi, manajernya orang kulit putih, dokter Kuba, dan sahabat terdekatnya adalah pemeluk Kristen. Ia mencintai mereka semua dan menganggapnya sebagai keluarga," kata Lonnie.

Ali selalu berusaha menjadi muslim yang baik. Ia salat 5 kali sehari dan berpuasa Ramadan --meski terkadang kesehatan menjadi penghalang baginya.

"Ketaatan tak sampai 'membutakannya'," kata sang istri. Ali juga memperhatikan dan merasa empati pada semua orang, bukan hanya sesama muslim.

Ali yakin, mereka yang membunuh sesama manusia yang tak berdosa bukanlah muslim sejati. Ia juga percaya, mereka yang melakukan kejahatan, seperti 9/11, atas nama agama sesungguhnya sedang melakukan kejahatan pada Islam.

"Apa pun yang kulakukan, itu semua karena Allah. Aku telah menaklukkan dunia dan itu tak membuatku bahagia. Kepuasan hakiki datang dari menghormati dan menyembah Allah," kata Ali.***