JAKARTA - Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro divonis penjara seumur hidup karena terbukti melakukan korupsi pengelolaan dana dan penggunaan dana investasi pada PT. Asuransi Jiwasraya (Persero). Ia juga dinilai terbukti melakukan pencucian uang.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Benny Tjokrosaputro terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan pencucian uang sebagaimana dakwaan kesatu primer dan kedua primer. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama seumur hidup," kata ketua majelis hakim Rosmina di Pengadilan Tipikor Jakarta, dilansir Antara, Senin (26/10).

Tak hanya dihukum penjara, Benny Tjokro juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar yang ia terima dari kasus tersebut.

"Menghukum terdakwa dengan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp 6.078.500.000.000 dengan ketentuan jika dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti," tambah hakim Rosmina.

Terdapat sejumlah hal yang memberatkan dalam perbuatan Benny Tjokro. "Hal-hal yang memberatkan, terdakwa melakukan korupsi secara terorganisir secara baik sehingga sulit mengungkap perbuatannya, terdakwa menggunakan tangan-tangan pihak lain dalam jumlah sangat banyak untuk menjadi 'nominee' bahkan menggunakan KTP palsu untuk menjadi 'nominee' dan menggunakan perusahaan-perusahaan yang tidak punya kegiatan untuk menampung usahanya," tambah hakim Rosmina.

Hal lain yang memberatkan adalah perbuatan Benny Tjokro dilakukan dalam jangka waktu lama. Serta dinilai menyebabkan kerugian negara yang sangat besar dan secara langsung kerugian untuk nasabah Jiwasraya.

"Terdakwa menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk merusak dunia pasar modal dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal. Meski terdakwa bersikap sopan dan merupakan kepala keluarga tapi terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak menyesali sehingga sikap sopan dan status kepala keluarga terhapus dengan rasa tidak bersalah dan tidak menyesali perbuatan," ungkap hakim Rosmina.

Pada sidang terpisah, Pemilik Maxima Grup Heru Hidayat juga dihukum penjara seumur hidup. Ia juga dinilai terbukti korupsi terkait Jiwasraya.

Hakim menilai Heru Hidayat terbukti menerima keuntungan Rp 10.728.783.375.000. "Terdakwa Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro mengelola 'underlying' 21 reksadana pada 13 manajer investasi diperkaya sebesar Rp12,157 triliun sehingga masing-masing mendapat Rp 6,078 triliun," kata hakim.

Heru Hidayat juga mendapatkan keuntungan tambahan Rp 4.650.283.375.000 sehingga keuntungan yang Heru dapatkan totalnya adalah Rp 10.728.783.375.000. Lantaran hal tersebut, Heru juga dihukum membayar uang pengganti sebesar yang ia dapatkan.

Total keuntungan yang didapat Benny Tjokro dan Heru Hidayat dihitung sebagai kerugian negara. Total uang pengganti yang harus dibayar Benny Tjokro dan Heru Hidayat yakni Rp 16.807.283.375.000.

Dalam putusannya, hakim menyatakan perbuatan Benny Tjokro terbukti masuk ke dalam kolaborasi jahat melakukan korupsi pengelolaan dana dan penggunaan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

"Terdakwa Benny Tjokrosaputro mengatakan tidak ada bukti apa pun melakukan perbuatan korupsi pada 2012-2018 karena baru sekali bertemu Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo tapi majelis hakim menilai terdakwa memang telah melakukan kolaborasi jahat yang utuh karena tidak perlu satu pihak mengenal dengan pihak lain seperti karakteristik penjualan saham," kata anggota majelis hakim Agus Salim.

Sanggahan Benny Tjokro bahwa ia tidak kenal dengan Manajer-Manajer Investasi yang mengelola dana dari Jiwasraya juga dipatahkan hakim. Menurut hakim, hal itu tak serta merta membuat Benny Tjokro tak terlibat.

Dalih Benny Tjokro bahwa penggunaan UU Pemberantasan Tipikor dalam kasusnya juga ditolak hakim. Ia sebelumnya berdalih perbuatannya lebih tepat terkait UU No 40 tahun 2014 tentang Asuransi dan UU No 80 tahun 1995 tentang Pasar Modal.

"Hakim punya pandangan berbeda yaitu SEMA Nomor 7 Tahun 2012 ditegaskan, sekalipun modus operandi masuk perundangan lain tapi kalau unsur-unsur tindak pidana korupsi terpenuhi maka UU Tipikor yang diterapkan," kata hakim.

Majelis hakim menilai tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa dan berdampak luas karena menyangkut aspek-aspek bernegara. Sehingga hakim menilai tidak mengherankan bila perbuatan korupsi dikemas dalam berbagai modus operandi.

"Oleh karena itu, penanganan tindak pidana korupsi perlu penanganan kompleks sehingga SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tersebut adalah jawaban sekaligus instrumen penting terhadap modus operandi korupsi yang berkembang dan dalam persidangan unsur-unsur korupsi terpenuhi dari rangkaian perbuatan terdakwa sehingga meski perbuatan terdakwa masuk dalam lingkup pasar modal tapi menurut hakim seluruh unsur tindak pidana korupsi terbukti maka perbuatan itu masuk dalam lingkup korupsi," kata hakim Agus Salim.

Hakim pun menilai Benny Tjokro melempar tanggung jawab dengan berdalih dalam pleidoi mengaku telah melunasi Repo MYRX dan BTEK tahun 2015-2016 kepada Heru Hidayat sesuai harga 5 kali lipat. Sehingga menurut Benny Tjokro, ia tidak bertanggung jawab bila Heru menjualnya ke pihak lain.

"Pada dasarnya Heru Hidayat dan Benny Tjokro bersama-sama mengetahui pelaksanaan repo tidak sesuai ketentuan yang sebenarnya dan terdakwa melemparkan tanggung jawab ke pihak lain sehingga nota pembelaan terdakwa harus ditolak," ungkap hakim Agus Salim.

Benny yang dalam pleidoinya menyatakan tanggung jawab investasi saham dan reksadana PT Asuransi Jiwasraya adalah tanggung jawab Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) 2008-2018 Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2013-2018 Hary Prasetyo, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya 2008-2014 Syahmirwan, juga ditolak hakim. Menurut hakim, hal itu adalah bentuk lempar tanggung jawab Benny Tjokro.

Majelis hakim juga menyatakan kerugian negara secara nyata dalam kasus Jiwasraya adalah Rp 16.807.283.375.000. Hal itu sebagaimana Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK RI.

"Terkait pembelaan penasihat hukum terdakwa yang menyatakan perhitungan kerugian negara masih kerugian potensial atau 'unrealized loss', majelis berpegang yang menilai jumlah kerugian negara adalah BPK jadi majelis mengikuti laporan kerugian negara BPK sehingga sangat beralasan menolak pembelaan penasihat hukum," kata hakim.***