JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Arwani Thomafi mengungkapkan, tampak ada pemikiran di fraksi-fraksi yang ada di DPR untuk menurunkan syarat ambang batas parlemen (parlementiary threshold) dan ambang batas pencalonan Presiden (Presidential Threshold).

Hal itu, lantaran pengalaman implementasi UU 7 tahun 2017 dalam Pemilu 2019 lalu, yang menyisakan fakta adanya pembelahan masyarakat, terbatasnya pastisipasi warga negara untuk mencalonkan diri dan tereduksinya aspek propsionalitas lantaran ambang batas yang terbilang tinggi.

"Sehingga kita ingin agar Presidential Threshold tersebut diturunkan dari 20 ke antara 10 sampai 15," kata Arwani dalam diskusi terkait Arah Revisi UU Pemilu di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (7/7/2020).

Politisi PPP itu menambahkan, "kita juga tidak ingin partai-partai (dengan kapasitas thresholdtinggi, red) itu tidak terlalu gampang mencalonkan presiden, karena ada satu perbedaan prinsi lah soal bagaimana kita memilih anggota DPR dan presiden,".

Revisi UU Pemilu, kata Arwani, jangan sampai hanya untuk menjadi pijakan memudahkan partai politik tertentu atau kontestan tertentu untuk menang dengan mudah. "Misalnya saya lihat, tradisi menaikkan parlementary threshold,".

Revisi UU Pemilu, juga diharap tak melebar dari aspek yang menjadi tuntutan penyesuaian, seperti; adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan aspirasi masyarakat sebagai empunya daulat.

Ia menegaskan, problem mendasar jika threshold dinaikkan adalah, "semakin banyak suara yang hilang, semakin banyak suara yang tidak terkonversi menjadi kursi.

"Artinya apa? Artinya ada problem kalau kita menaikkan PT itu justru melahirkan disproporsionalitas," kata Arwani.***