PAREPARE Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) terus menuai kritikan dan jadi polemik di kalangan politisi bahkan dua ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah.

Penolakan RUU HIP juga datang dari tokoh perempuan yang aktif berkiprah di dunia dakwah, Erna Rasyid Taufan.

Erna Rasyid Taufan yang dikenal memimpin sejumlah organisasi agama, sosial, dan kemasyarakatan di Kota Parepare ini mengecam keras RUU inisiatif DPR tesebut dan meminta agar RUU itu segera dihentikan.

Ia menilai, pemilihan frasa "ketuhanan yang berkebudayaan" yang tertera pada pasal 7 ayat (1) dan konsep Trisila dan Ekasila dalam pasal 7 ayat (2) dan ayat (3)  telah mengesampingkan Tuhan dan agama.

"Alquran diturunkan dengan tujuan utama adalah penguatan aqidah sebagaimana dalam surah Al Ikhlas ayat pertama, 'Katakanlah Allah itu Esa atau 1', lalu bunyi syahadat kita "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (Artinya Allah itu Esa atau Satu)'. Kemudian Pancasila pada sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu mengapa frasa dalam RUU HIP berganti menjadi Ketuhanan yang Berkebudayaan. Di mana dasar dan logikanya," ujarnya Minggu (21/6/2020).

Menurut Istri Wali Kota Parepare ini, konsep Trisila dalam RUU HIP adalah bentuk kemerosotan dari konsep ketuhanan yang disebut harus tunduk kepada manusia. 

"Yang berkebudayaan itu hanyalah manusia. Sementara frasa yang dicantumkan dalam RUU HIP, menunjukkan konsep ketuhanan harus tunduk dan patuh kepada manusia. Ini betul-betul membuat saya harus angkat bicara dan saya tegaskan atas nama pribadi mendukung opsi terakhir yang akan dilakukan MUI jika memang RUU ini dilanjutkan pembahasannya," tegas Ketua Forum Komunikasi Putra Putri TNI/Polri (FKPPI) Parepare ini.

"Dengan menghapus sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menurut saya sama dengan menghapus nama Tuhan yang Maha Esa di bumi Indonesia. Ini adalah puncak dari segala pembelaan terhadap Kemuliaan Allah swt. Kita harus mempertahankan apa yang telah diperjuangkan oleh para ulama dalam penyusunan sila-sila dalam pancasila. Ini tidak boleh terjadi. Para ulama kita sudah cukup mengalah dengan dihilangkannya kewajiban menjalankan syariat Islam pemeluknya," tandasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhyiddin Junaidi menegaskan, apabila langkah persuasif yang dilakukan MUI tidak membuahkan hasil, maka MUI akan mengambil langkah terakhir untuk melakukan masirah kubra (aksi besar-besaran). 

"Kami gunakan masirah kubra yang memiliki arti dalam yaitu berjuang di jalan Allah untuk mendapatkan Ridha Allah. Jangan sampai ketika malam hari orang sedang tidur, pembahasan itu disahkan, naudzubillah min dzalik, kami akan rapat dan di dalam rapat itu harus ada orang yang kuat untuk melakukan masirah kubra, kalau dulu ada 212, kita skalanya nasional dari semua provinsi," kata Muhyiddin dalam webinar, Sabtu (20/6/2020).***