MEDAN - Fakultas Kedokteran UISU menyelenggarakan seminar online atau webinar yang membahas tinjauan ilmiah new normal dalam menghadapi pandemi covid 19 dari perspektif filosofi dan epidemiologi, Sabtu (6/6/2020) di Ruang Dekan FK UISU. Dalam pemaparan 2 pemateri yakni DR dr Umar Zein DTM&H, Sp.PD-KPTI dan dr Putri Chairani Eyanoer Ms.EPi, Ph.D, FISPH.FISCM menyimpulkan bahwa Provinsi Sumatera Utara belum bisa menerapkan new normal atau tatanan baru untuk beradaptasi dengan COVID-19.

Sebelum materi diberikan, Dekan FK UISU, dr Indra Janis MKT dalam sambutannya menyampaikan, dampak pandemi Covid 19 saat ini sudah meluas, baik di Indonesia maupun dunia. FK UISU dengan caturdharma UISU yaitu pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat dan dakwah islamiah, selalu turut serta untuk mengambil peran mengatasi covid 19. Salah satunya adalah melalui kegiatan ilmiah webinar.

"Webinar ini sebagai edukasi yang efektif ditujukan kepada kalangan kesehatan dan juga masyarakat umum. Kegiatan webinar ini juga jangkauannya cukup luas, dapat menghimpun banyak peserta, sehingga kami merasa perlu mengadakan kegiatan ini berkelanjutan dan akan dikemas dalam sajian yang lebih menarik di setiap episode," ujar Dekan.

Menurut Dekan, new normal atau tatanan hidup baru akan diberlakukan di negara Republik Indonesia.

"Dalam kaitan ini, kami telah menghadirkan dua narasumber yang kompeten di bidangnya masing-masing tentang hal tersebut. Semoga kita mendapat pencerahan nantinya," ujar Dekan sembari berharap, pandemi covid 19 dapat diminimalisir di Indonesia.

Menutup sambutannya, Dekan menyampaikan sebuah pantun dalam menghadapi new normal ini. "Indah pemandangan langit nan biru, berpadu lautan di Pelabuhan Ratu. Kunci penerapan kenormalan baru, protokol kesehatan jadi penentu".

Memasuki materi tinjauan ilmiah new normal, DR dr Umar Zein DTM&H, Sp.PD-KPTI menjelaskan, dirinya merasa miris dengan jumlah kasus yang kian naik. Kemudian petugas kesehatan di rumah sakit itu nampaknya tak henti-hentinya dalam menghadapi kasus.

"Ini kenapa terjadi? Ini karena kurangnya pencegahan. Kita hanya berkutat di hilir, sementara di hulunya itu tidak dari awal dihempang, sehingga terkuras sumber daya tenaga medis atau dokter, perawat, atau petugas-petugas yang lain," bebernya.

Kalau mau menuju new normal dengan melonggarkan pembatasan, Umar menyarankan agar menyempurnakan dulu penanganan preventif dan kontrolnya

"Preventif dan kontrol bersamaan dengan promotif dulu. Pencarian dan deteksi dini kasus serta perlindungan masyarakat secara simultan. Semua itu harus didukung sarana dan prasarana diagnostik yang unggul, dan peran masyarakat, baru bisa menghempang dan jumlah kasus akan turun. Kalau bisa seperti Australia, mereka berprinsip kalau sudah nol, artinya sudah tidak ada lagi kasus, sudah tinggal menyelesaikan kasus yang ada, barulah dimulai pembebasan dan pembatasan itu," terangnya.

Menurut dia, new normal itu sebenarnya sekarang ini sudah dimulai, yakni mengenakan masker, kebiasaan cuci tangan dan jaga jarak. Itu sudah kehidupan kebudayaan baru bagi kita. Yang jadi persoalan kapan dimulai pelonggaran pembatasan aktivitas masyarakat.

"Saya tadi juga singgung mengenai pendidikan. Pendidikan ini berhenti mau sampai kapan? Apakah tutup terus ini? sampai berapa lama? bisa setahun, dua tahun? Kita mulailah new normal ini di kampus, dengan cara sistem pendidikan yang kita ubah sesuai dengan kondisi masing-masing," terangnya.

Dia juga menegaskan, jika memang tidak siap menghadapi new normal, alangkah baiknya jangan dulu diterapkan pelonggaran pembatasan

"Lebih bagus kita nunggu saja. Sampai kapan? Enggak tahu kita sampai kapan," tukasnya.

Umar juga menyinggung belum optimalnya peran dari Tim Gugus Tugas Percepatan Covid 19 di Sumatera Utara karena masih banyak pelanggaran dan penyimpangan oleh banyak pihak.

"Belum optimal. Kenapa? Karena nampaknya ada kepentingan lain untuk segera melonggarkan ini, terutama para pebisnis, karena mereka melihat selama orang tidak keluar, kan mati bisnisnya, Itu wajar, tapi kita kan tidak berpikir sampai kesitu, kita berpikir melindungi masyarakat dari penyakit yang sangat menular

Dirinya juga menyinggung persoalan data yang harus valid dari tim gugus tugas. Dengan data itu, tim kesehatan bisa melakukan langkah-langkah yang lebih baik untuk mengatasinya.

"Misal kita mau pergi ke Aceh, kita enggak tahu kondisi mobilnya, gimana jalan menuju kesana, tadinya kita prediksi 9 jam, enggak tahunya bisa sampai 12 jam. Jadi untuk memprediksi itu, data kita harus valid, sehingga kita bisa menghitung, bisa memprediksi, walaupun prediksi itu tidak bisa 100 persen tepat," jelasnya.

Disinggung persoalan adanya data yang setiap hari dikeluarkan Tim Gugus Tugas Covid 19, namun Umar tidak begitu yakin. Sebab, data itu belum menjawab keseluruhan.

"Misal, ada kabupaten/kota yang menjelaskan tempat kami bebas dari covid 19. Dari mana mereka tahu? apakah sudah semua diperiksa? Karena ada OTG. Sama seperti HIV/AIDS, 'di tempat kami tidak ada kasus HIV/AIDS'. Apakah memang sudah semua diperiksa orang orang di daerah itu," ungkapnya.

Di sisi lain, dr Putri Chairani Eyanoer Ms.EPi, Ph.D, FISPH.FISCM memaparkan Berdasarkan data-data di Indonesia khususnya di Sumatera Utara, bisa dilihat bahwa sampai hari ini angka kejadian Covid 19 itu belum lagi mencapai puncak.

"Sementara, kalau dilihat dari konsep new normal itu, kita harus sudah sampai dulu ke puncak, sampai ke puncak kemudian sudah ada penurunan kasus, baru kemudian kita lihat. Adanya kasus covid tidak mungkin hilang di populasi, tetapi dengan adanya kasus dalam jumlah yang sedikit atau bisa terkontrol, barulah kita bisa masuk ke dalam yang disebut dengan new normal," ucapnya.

Putri kembali mengulang pernyataannya bahwa berdasarkan data yang ada saat ini menunjukkan kita belum siap untuk new normal. Bahkan mungkin lebih parahnya, tidak siap untuk masa transisi.

Dia juga belum bisa memprediksi kapan ini berakhir. Apalagi sudah banyak sekali beredar kurva-kurva prediksi. Tapi ternyata setelah dilihat, seluruh kurva prediksi itu salah, tidak sesuai dengan apa yang kita hadapi di lapangan.

"Kalau mungkin mengikuti kemarin ada Universitas dari Singapura yang mencoba membuat prediksi untuk Indonesia, sudah dua kali mereka buat, salah juga. Nah kurva prediksi ini dibuat dari apa? Dari data-data yang tersedia, terutama data orang yang terkena, data orang yang meninggal, data yang dirawat di rumah sakit, baru kita bisa membuat prediksi," jelasnya.

Untuk membuat prediksi, sebut Putri, bukan hanya dari data, tapi juga harus dibandingkan data di Indonesia dengan data orang di luar negeri, baru bisa keluar kurva prediksi.

"Saya tidak terlalu tertarik dengan kondisi di negara kita dengan melihat prediksi. Karena apa? karena memang prediksi itu adalah lahannya akademisi atau lahannya peneliti silakan. Tetapi untuk melakukan pencegahan secara riil di lapangan kita harus melihat kondisi yang di lapangan. Jadi yang paling penting itu, karena masa inkubasi dari virus ini adalah 14 hari, maka yang kita lihat adalah bagaimana dia per 2 minggu. Kalau tadi kita katakan kita masuk ke new normal, ketika virus tadi sudah turun jumlahnya, tentu kita pantau dalam waktu 2 minggu," jelasnya.

Menurut Putri, indikator ini juga yang dikeluarkan oleh WHO dan diadopsi oleh Kemendagri dan gugus tugas nasional.

"Jadi kita harus melihat dari misalnya pertengahan ini sampai 2 minggu kedepan, bagaimana kasusnya. Kalau dia sudah menurun, yang kita harapkan 50%, maka itu kita sudah ready. Jadi kalau misalnya ditanya, 'kapan ya puncaknya'. Saya tidak tahu puncaknya kapan dan saya tidak mau bermain mathematical modelling. Kemarin kami barusan ada diundang mengenai prediksi tadi, ternyata prediksinya juga salah. Dikatakan di bulan Juni puncaknya di tanggal 4. Enggak lho, kita masih naik lagi ini. Jadi kalau ditanya kembali lagi, saya tidak tahu kapan fan saya tidak terlalu tertarik untuk membuat prediksi. Saya lebih tertarik untuk melihat riil di lapangan seperti apa supaya kita bisa cepat mencegah penularan," tandasnya.

Jadi yang harus dilakukan untuk saat ini, tambah Putri, yang pertama sekali adalah melakukan pendataan dengan baik. Data itu dalam bentuk surveilans.

"Untuk Sumatera Utara sudah dikerjakan oleh tim gugus tugas provinsi. Kita punya tim PE yang cukup baik, cukup sigap, tetapi tidak dipungkiri kita masih kurang dari SDM dan fasilitasnya. Tapi kita mencoba ini. Data kita saat ini jauh lebih baik dibandingkan data kita sebulan lalu," ujarnya.

Selain itu, dirinya meminta peran serta masyarakat, karena penularan penyakit ini tidak bisa ditanggulangi oleh pemerintah saja, tidak bisa hanya koar-koar bilang jangan ini jangan itu.

"Tapi kenyataannya di masyarakat semua diabaikan, karena ingat penyakit ini terjadi karena ada kontak satu dengan yang lain," tandasnya.

Webinar yang kali pertama dilaksanakan secara online ini diikuti sebanyak 472 peserta dari berbagai kota di Indonesia dan negara tetangga Malaysia.