BULUKUMBA - Kisah yang menimpa warga Kabupaten Bulukumba ini viral setelah seorang suami dan anak perempuannya meraung-raung meminta agar jenazah ibunya dimakamkan di pekuburan keluarganya di Bulukumba, Sulsel. Adalah Andi Baso Ryadi Mappasulle, yang  masih merasa sedih dan diliputi dukacita mendalam karena jenazah istrinya yang sebelumnya dirawat di RS Bhayangkara Makassar tidak memperoleh ijin untuk dimakamkan seperti lazimnya.

Sang istri dimakamkan di Pekuburan khusus Covid-19, dengan mekanisme ala pasien yang wafat gegara viruscorona, padahal sejatinya, muncul hasil Swab yang menyatakan, sang istri yang diketahui bernama Nurhayani Abrar itu ternyata negatif Covid-19.

Andi Baso sekeluarga malah mendapat perlakuan tak adil atas kematian istrinya yang divonis PDP di Rumah Sakit Bhayangkara.

Awalnya, istri Andi Baso itu (Nurhayani Abrar) menghembuskan nafas terakhirnya akibat stroke dan pembuluh darah pecah. Namun berdasarkan hasil Swab, istrinya negatif Covid-19.

Hanya saja, jenazah istrinya ditangani dengan protokol pasien Covid-19. "Sebentar saya akan ke tim gugus untuk meminta jenasah istri saya yang dikebumikan di Macanda, (pemakaman khusus Covid-19 di Kabupaten Gowa)," ujar Andi Baso melalui telepon, Selasa, 2 Juni 2020, melansir MakassarTerkini.

Baso kecewa karena tak ada dasar sedikitpun pihak rumah sakit maupun Gugus Tugas menahan jenazah istrinya untuk dimakamkan ala-ala jenazah Covid-19.

"Saya maklumi ketakutan pemerintah terhadap pandemi Covid-19. Cuma kalau ketakutan itu tidak benar kepada salah satu pasien, apa tindakan mereka? Tidak ada," tanyanya.

Andi Adi mengatakan vonis PDP yang dijatuhkan terhadap istrinya berlindung di balik protokol Covid-19 dan berdasarkan ketakutan semata. Hal itu, kata dia, justru menimbulkan pertanyaan mendasar soal anggaran.

"Karena protokol Covid-19 menimbulkan konsekuensi anggaran. Sekarang sudah ada hasil Swab, dan hasilnya negatif corona," kata dia.

Dia bercerita, hasil Swab istrinya keluar pada tanggal 22 Mei 2020, 1 Minggu setelah istrinya meninggal. Itu pun, kata dia, mesti susah payah untuk mendapatkannya.

Dirinya juga mempertanyakan kesigapan pemerintah sebelum hasil Swab Istrinya keluar. Ia mengatakan hingga saat ini, dia dan anak-anaknya sama sekali belum di-Swab.

Kemudia Ia menceritakan saat prosesi penguburan istrinya di Macanda. Dia mendapatkan perlakuan tak manusiawi dari aparat keamanan. Setelah menguburkan jenasah Istrinya, tim gugus langsung pulang.

"Tidak ada rasa prihatin, mereka tim gugus langsung pulang saja. Harusnya mereka berpikir keluarganya harus diisolasi," kata dia.

Lantaran pada saat itu, istrinya ditetapkan PDP dan hasilnya belum keluar. Ia mengaku sempat mempertahankan jenasah istrinya di RS Bhayangkara dan menantang mereka dengan pembuktian terbalik.

"Saya bilang kalau kalian anggap PDP Covid-19 almarhumah istri saya. Silakan tes saya. Tes anak-anak saya. Saya sudah berinteraksi, sudah mencium jenasah almarhumah," ungkapnya.

Namun, kata dia, baik dari pihak dokter dan tim gugus tak ada satu pun yang berani untuk melakukan tes terhadap keluarganya. Ia mengaku ikhlas bila seandainya almarhumah positif Covid-19.

Andi Baso menilai peristiwa kematian istrinya, membuktikan kalau Tim medis dokter menjadikan pandemi Covid-19 sebagai lahan mata pencaharian.

"Biar bukan penyakit Covid-19 dipaksakan untuk memvonis PDP, atau positif Covid-19. Ada apa sebenarnya di balik semua ini, kecurigaan saya mulai terbuktikan kalau semua ini hanya skenario untuk anggaran semata," kata dia.

Dalam SK Kementerian, kata dia, 1 malam pasien PDP di rumah sakit dibebankan Rp.16.500.000. Satu pasien bisa sampai 320 juta selama isolasi. Saat ini, kata dia, dirinya akan memperjuangkan jenasah istinya untuk dipindahkan dari pekuburan Macanda ke pekuburan keluarga.

Ia menyebut, apapun cara dan konsekuensinya, dirinya akan menuntut segala yang menghalangi usaha dan perjuangan untuk mendapatkan kembali jenasah istrinya. Ia menegaskan dirinya benar lantaran mengacu pada hasil Swab.

"Saya tidak mau sampai hari ini jenasah istri saya ada di pekuburan Covid-19 padahal hasilnya negatif Swab, saya minta keadilan, saya berhak atas itu!," sebutnya.

Sementara itu sang anak Andi Esa Abram membuat surat terbuka di akun Facebooknya. Dari penulusuran GoNews.co, status tersebut sudah dibagikan ribuan netizen dan mendapat ribuan komrntar.

Berikut bunyi statusnya:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokaatuh.

Ini kejadian kekejaman yang saya dapatkan dari tim medis dan tim gugus yang berbuat kasar kepada kami keluarga korban.

Ummi saya di Vonis PDP padahal meninggalkannya karena stroke disebabkan pembuluh darah pecah di otak sebelah kanan dan akan dimakamkan sesuai protokol covid.. Saya dan Etta (papa) berusaha untuk membawa ummi pulang kerumah dan ingin memakamkannya secara layak di kampung halaman kami (Bulukumba).

Didalam IGD tempat ummi meninggal, saya sudah memohon-mohon kepada tim gugus dan tim medis agar kami membawa ummi pulang, tapi mereka menolak.

Pada akhirnya Etta saya bersujud mencium sepatu pimpinan tim gugus untuk memohon tetapi mereka tetap menolak. Malahan kami DIBOHONGI, tim gugus berusaha membujuk kami untuk membicarakannya baik2, dan tim medis ingin mengkafankan ummi. Etta saya pun terbujuk dan keluar dari UGD untuk berbicara dengan tim gugus, sebelumnya Dokter (pak haji sebutannya) menjanjikan akan menyolatkan ummi dan tidak akan memasukkan ummi kedalam peti serta akan menunggu Etta saya kembali untuk melakukan sholat jenazah sama2. namun semua itu bohong.

Ketika Etta saya sudah keluar, tinggallah saya dan para tim medis, mereka mulai melakukan proses pengkafanan dan ternyata ummi hanya di tayammum, diperlakukan seperti jenazah Covid di semprot disenfektan.. stelah dikafankan mereka mau memasukkan ummi kedalam peti, saya pun Menolak, bukan itu perjanjian diawal. Sikap saya seketika kalah karena dihalangi oleh petugas gugus yg tiba2 datang menyeret saya jauh dari peti mereka memasukkan ummi kedalam peti dan menutupnya.

Saya mencoba berlari ke peti tapi usaha saya sia-sia, tenaga saya kalah saya disekap tidak bisa bergerak, malah saya terseret jatuh ke lantai dan baju saya ditarik.

Mereka mulai melakukan sholat jenazah tanpa menunggu Etta saya. Mereka membohongi kami. Mereka pun membawa peti tersebut sambil lari-lari dan saya dihalangi untuk mendekat saya terseret seret mengejar peti itu, saya berusaha bangun dan kembali berlari namun tetap dihalangi lagi.

Sampai didepan RS, saya melihat Etta saya sudah tidur dibawah mobil jenazah untuk memblok, ternyata Etta saya juga disekap dilarang lagi untuk masuk IGD sedari tadi .. adik saya Adel berusaha ingin mendekati peti karena tidak diizinkan masuk IGD sejak semalam untuk melihat ummi terakhir kalinya tetapi Adel di halangi polisi dengan tameng.

saya juga naik ke atas mobil berharap mereka akan memberikan jenazah ummi untuk kami bawa pulang kerumah, tetapi sekali lagi saya dikelitik diseret jatuh ketanah oleh petugas.. akhirnya mereka berhasil membawa ummi, mereka melaju dengan cepat. Etta saya mengambil motonya (N-max) dan membonceng kami (saya, Adel, Alya) untuk mengejar mobil jenazah tersebut, kami bonceng 4.

Hanya Allah SWT yang mampu melindungi kami agar tidak terjadi kecelakaan di jalan. Setiba di tempat pemakaman, kami tidak diizinkan ikut melakukan proses penguburan, dan hanya bisa sampai di gerbang saja. Mereka sungguh tidak ada hati nurani, mereka menguburkan jenazah yang jelas-jelas bukan Covid di penguburan khusus covid dan mempetikannya, Astaghfirullah..

Dan setelah melakukan pemakaman, mereka meninggalkan kami begitu saja, seandainya benar ummi kami PDP, tidak adakah tindakan dari tim medis kepada kami, apalagi kepada saya? Saya yang menemani ummi di RS hingga meninggal sampai mempertahankan ummi (memeluknya) agar tidak mereka bawa.

Saya menuntut keadilan untuk Ummi kami, kami ingin memindahkan jenazah ummi kami yang jelas-jelas NEGATIF Covid.. apa hak Mereka menahan jenazah ummi kami di penguburan itu .

Saya memohon kepada teman-teman yang membaca tulisan saya, tolong bantu kami , tolong kami mencari keadilan untuk ummi kami.***