MEDAN-Berdasarkan data dari Komisi Penanggulan Aids (KPA) Provinsi Sumatera Utara yang disiarkan melalui website Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara, 24 Janurai 2020 lalu, sampai dengan April 2019 jumlah kasus HIV/AIDS yang tercatat oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara sebanyak 9.209 kasus dengan rincian HIV sebanyak 4.043 dan AIDS sebanyak 5.166.

Selanjutnya, data Kemenkes tahun 2016 angka prevelensi HIV/AIDS di Sumut adalah 28,97 per 100.000 penduduk. Artinya, setiap 100.000 penduduk di Sumatera Utara terdapat 29 orang yang menderita HIV/AIDS. Sedangkan, berdasarkan kelompok umur yang paling tinggi mengidap HIV adalah umur 15-29 tahun dan 30-40 tahun kelompok umur yang diharapkan menjadi generasi penerus bangsa. Disamping itu, tren peningkatan kasus HIV/AIDS juga terjadi pada rentang usia 0-19 tahun yang pengidapnya saat ini tercatat 953 anak di Sumatera Utara.

Melihat data tersebut, jika tidak ditekan melalui pencegahan penularan HIV/ AIDS dari suami ke isteri atau sebaliknya, maka penularan dari ibu ke anak akan semakin tinggi. Jumlah anak dengan HIV/AIDS (ADHA) pun akan semakin bertambah pula.

Pemerhati HIV/ AIDS, Eban Totonta Kaban tak menampik, jumlah ADHA semakin bertambah. Hal itu, dikarenakan masih banyak masyarakat yang tidak memahami bagaimana caranya mencegah penularan HIV AIDS. Terutama, laki-laki beristeri yang tidak terbuka kepada pasangannya.

“Saat saya masih menjadi Ketua di LSM Medan Plus, dari sejak tahun 2009, kita sudah mendampingi sekitar 185 anak dengan HIV Aids. Setiap tahun, pasti jumlahnya bertambah. Ini karena masyarakat yang tidak paham bagaimana pencegahannya. Laki-laki beristeri tidak terbuka tentang perilakunya yang berisiko, cenderung tertutup,” katanya, kemarin.

Menurut Eban, isteri harus lebih aware atau sadar dengan perilaku suami yang berisiko. Terutama kepada suami yang bekerja di luar kota dalam waktu yang lama tidak pulang ke rumah. Karena, banyak kasus ibu rumah tangga yang tiba-tiba ketahuan telah terinfeksi HIV/AIDS.

“Kalau dilihat dari data-data yang ada, kasus HIV tidak terlalu tinggi berasal dari pekerja seks komersil (PSK). Tetapi, ibu-ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya.  Tiba-tiba, ibu rumah tangga merasa sakit-sakitan, ternyata setelah diperiksa telah terinfeksi HIV. Untuk itu, ibu-ibu rumah tangga, terutama ibu hamil harus lebih kritis, lebih menyadari tentang perilaku berisiko suaminya. Kalaupun, si suami tidak sedang bekerja di luar kota, isteri juga perlu mendorong suami untuk memeriksakan kesehatannya ke pelayanan kesehatan,” tuturnya.

Kemudian lanjutnya, jika ada ibu rumah tangga yang hamil dan sudah terlanjur terinfeksi HIV AIDS dari suaminya, harus segera menghubungi layanan kesehatan yang tersedia di daerahnya untuk pencegahan penularan dari ibu ke anak ketika anak itu dilahirkan.

“Dengan mendatangi tempat pelayanan kesehatan, ibu yang hamil tadi bisa langsung meminum obat ARV yang diberikan. Selain itu, juga bisa menjalankan program PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV Transmission) yaitu, suatu program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. Dimana, saat melahirkan melalui operasi caesar,” terangnya.

Dokter spesialis anak, dr. Rita Evalina juga mengatakan hal yang sama. Dia mengatakan, memang setiap tahun ada saja penambahan kasus anak dengan HIV AIDS. Hal ini menurut dia, salah satunya karena ketidakpahaman masyarakat bagaimana pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya. Selain saat hamil tidak mengkonsumsi obat ARV, saat melahirkan juga melalui persalinan normal.

“Akibatnya, si anak tertular dan hidup dengan berbagai penyakit penyerta,” ujarnya.

Dia mencontohkan, seperti yang terjadi pada seorang anak laki-laki yang menjadi pasiennya beberapa tahun yang lalu. Anak yang sedang memperjuangkan hidupnya itu bernama MAL (7 tahun), dengan berat badan 14 kilogram. Setiap datang, kondisi tubuhnya terlihat lemah.

“Anak ini statusnya  positif HIV/AIDS dengan penyakit penyertanya gizi buruk dan infeksi paru-paru atau bronchopneumonia (dalam bahasa medis). Matanya cekung, dirawat di ruang isolasi Rumah Sakit Pirngadi, Medan. Dia didampingi oleh seorang kakak kandungnya yang masih berusia remaja. Sejak itu, obat menjadi prioritas dalam hidupnya. Tapi, MAL hanya dapat bertahan di usia 11 tahun saat dirinya terapi obat selama lebih kurang 4 tahun,”tuturnya mengisahkan MAL.

Hingga kini, dr Rita sendiri telah menangani pasien anak dengan HIV AIDS sebanyak 200-an anak. Rata-rata, anak yang datang padanya memiliki infeksi opurtunistik (IO) atau penyakit penyerta HIV/AIDS. Dimana, saat kondisi tubuh si anak tidak sehat atau imunitas tubuh sedang rendah.

“Namun begitu, meskipun infeksi ada pada tubuh anak, tapi tidak mengganggu. Hanya saja, dalam kondisi sistem imun yang tertekan, maka menjadi infeksi,” jelas dr Rita.

Dia berharap, kasus anak seperti MAL semestinya tidak terjadi lagi kepada anak-anak dengan HIV/AIDS lainnya. Karena, sebenarnya seorang anak dengan HIV/AIDS bisa hidup dengan baik seperti anak normal lainnya, asalkan bisa merawatnya dengan benar. Selain diberikan obat, makanan bergizi juga harus dihindari dari minum ASI, karena mayoritas penularan pada anak dan ibu sering terjadi melalui ASI dan transfusi darah.

“Metode penularan HIV/AIDS yang terjadi itukan ada empat yaitu, melalui air susu ibu, hubungan seks yang tidak aman, pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Namun, yang lebih mayoritas penularan pada anak dan ibu sering terjadi di ASI dan transfusi darah. Maka hindarilah ASI dan konsumsilah obat sesuai yang dianjurkan dokter,” ucapnya.

Selain pengobatan seumur hidup jelas dr Rita, hal yang harus dilakukan untuk membantu kesehatan ADHA, baik pelayanan kesehatan dan orangtua atau keluarga membuat bagaimana anak-anak tersebut merasa normal seperti anak pada umumnya.

“Terkadang, ADHA merasa dibedakan, karena sikap orang tua pada anak tersebut yang merasa bersalah, sehingga tanpa disadari terlalu manja dan jadi tidak menentu. Harapannya, ADHA justeru tidak dimanja, agar mereka bisa hidup lebih mandiri, seperti, ambil makan atau minum sendiri dan hal-hal kecil lainnya. Hal-hal seperti itulah yang bisa membuat ADHA hidup seperti anak normal lainnya, ” tuturnya.