MEDAN - Sejumlah pengusaha mengaku tertekan, karena tidak bisa membayar kewajibannya selaku nasabah perbankan. Pasalnya, ini terjadi akibat sebagai imbas dari pandemi Covid 19 sejak Maret lalu.

Tak hanya sekedar kehilangan omset, para pelaku usaha juga merugi hingga miliaran rupiah, sebab barang yang telah disediakan (stok) tidak terserap pasar. Sementara, keringanan kredit seperti yang disampaikan presiden RI untuk jangka waktu satu tahun, tidak semua diadopsi perbankan. Nasabah hanya diberikan keringanan waktu selama 6 bulan, namun bunga pinjaman harus tetap dibayarkan.

Seperti pengakuan Jefri. Pengusaha bahan pangan dan industri ini menerangkan, usaha yang dikelolanya kehilangan omset sejak Maret lalu. Setelah wabah Covid-19 meluas di Indonesia khususnya Sumatera Utara, yang membuat tempat usaha seperti hotel, restoran, cafe, mall, tidak beroperasi.

Sehingga menyebab bahan-bahan pangan dan industri yang diperdagangakannya tidak bisa lagi dijual, karena memang memiliki masa expired. Termasuk bahan kimia juga bisa rusak, karena kadarnya bisa hilang.

"Memang kita sekarang ini sangat tertekan. Sudah kena bencana, dan kredit kita di bank bukan sehari atau dua hari tapi sudah 30 tahun. Kondisi bencana seperti ini, bukannya dibantu, ditekan lagi," keluh Jefri ketika diwawancarai, Senin (1/6/2020) kemarin.

Jefri mengaku, bank tempat dia mendapatkan pinjaman, hanya diberikan keringanan tidak membayarkan hutang pokok untuk jangka waktu enam bulan saja. Sedangkan bunga harus tetap dibayarkan, dengan besaran 8%. Namun setelah melakukan negosiasi, akhirnya diberikan keringanan 2,5%, dan 5,5% lainnya dianggap utang dan harus dibayarkan setelah enam bulan.

"Kita kolaps bukannya dibantu, sekarang mau bayar gaji saja hutang. Kita dipaksa setelah enam bulan, bayar sisa bunga sesuai perjanjian. Belum lagi bunga yang baru. Jadi kalau kita diperjanjikan bunga 8%, kita minta keringanan, jadi 2,5 %, kita harus bayarkan sisanya. Misalnya bunga baru yang ditentukan 10%, jadi kita harus bayar 15,5%," ujarnya.

Jefri mengaku, pihaknya masih punya itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya. Namun hal tersebut bukan hal mudah ditengah kondisi Covid-19 saat ini. Karena, produk yang biasa dipasarkan tersebut tidak memiliki pasar. Bahkan kerugian yang dialaminya mencapai Rp7 miliar, dan untuk kembali membangun usaha membutuhkan modal baru.

Hal tidak berbeda diungkapkan Mayman, pedagang speartpart kenderaan di Jalan Brigjen Zein Hamid. Dia juga mengaku setelah Covid-19, tidak sanggup lagi membayarkan kewajibannya sebagai nasabah salah satu bank. Sebab pandemi Covid-19 membuat kehilangan omset.

Mayman yang memiliki pelanggan di Duri, Dumai, Pekan Baru dan Rantau Prapat, kesulitan melakukan tagihan. "Kita keluar kota mau ngutip tidak bisa masuk. Kita sudah sampai Dumai, di suruh balik," ujarnya.

Saat ini ujarnya, situasinya memang sangat sulit. Sebenarnya kondisi tersebut sudah mulai dirasakannya sejak lima tahun lalu, namun semakin parah setelah Covid-19.

"Terasanya mulai lima tahun lalu, sudah termehek-mehek. Omset yang biasanya Rp500 juta turun menjadi Rp200 juta, Rp100 juta, Rp90 juta. Dan setelah Covid-19, Rp70 juta, Rp50 juta dan Rp30 juta, dengan omset segitu bagaimana mau bayar pinjaman" ujarnya.

Saat ini sambungnya, setelah mengajukan permohonan dengan adanya pandemic Covid-19, pihak perbankan memberikan keringanan selama 6 bulan. Namun setelah itu dia mengaku masih bingung bagaimana untuk kelangsungan usahanya. "Setelah enam bulan, kita tidak tahu usaha jalan atau tidak," ujarnya.

Demikian halnya dengan Rahman, peternak ayam yang juga merasakan imbas dari Covid-19. Tidak hanya usahanya yang hancur, karena harga jual ayam yang anjlok, dia juga mengalami kerugian hingga mencapai Rp1,7 miliar.

"Sekarang kita tidak sanggup bayar, karena Covid-19," ujarnya, bahkan untuk membayarkan THR karyawannya dia pun mengaku meminjam.

Dengan kondisi seperti ini, pihaknya sangat mengharapkan adanya dukungan bagi usahanya. Sehingga bisa bangkit kembali.

Secara terpisah Ketua Komunitas Kredit Macet, Harun mengharapkan perbankan berempati dengan pelaku usaha. Karena ketidakmampuan membayar kewajiban bukan sepenuhnya keinginan pelaku usaha, melainkan karena imbas dari Covid-19 yang menyebabkan kehilangan penghasilan.

Pemerintah juga diharapkan tidak pilih kasih dengan melakukan klasifikasi warga, sebab semua masyarakat tidak hanya ekonomi menengah ke bawah, namun ekonomi menengah ke atas juga merasakan dampaknya.

Terpisah Ketua Forda UKM Sumut, Sri Wahyuni Nukman menambahkan pandemi Covid-19 ini, menyebabkan semua sulit dan semua mengetahui hal ini. Oleh karenanya, diharapkan perbankan memberikan dukungan bagi pelaku usaha.

Kembali kepada amanat presiden yang meminta agar perbankan mengeluarkan kebijakan, hendaknya disikapi dengan membuat kebijakan yang tidak memberatkan.

"Pihak perbankan mengeluarkan kebijakan tapi tidak memihak, tidak ada keringanan sama sekali. Yang ada hanya penundaan pembayaran bunga. Setelah lewat enam bulan akan kembali seperti kondisi sebelumnya, bukan setahun. Kita tidak tahu bagaimana nasib pelaku usaha saat ini dan masa yang akan datang. Tidak sedikit dari mereka yang gulung tikar. Dan pemerintah tidak bisa membantu memberi solusi. Dampaknya sudah pasti bertambahnya pengangguran di sana sini. Mestinya pihak perbankan bisa meninjau kembali kebijakan yang akan dikeluarkan. Atau jika memungkinkan, menempuh jalan lain, yaitu menambah kredit atau pinjaman baru ke pelaku usaha. Supaya mereka bisa sedikit bernapas sambil membenahi ulang usahanya dari awal lagi," terangnya. (*)